Oleh: Putri Nilam Sari
Siang itu kampus sudah mulai sepi, karena sudah minggu tenang untuk persiapan ujian. Sedangkan aku masih ingin berada di kampus, menikmati suasana sepi sambil mengulang hafalanku.
“Assalamualaik habibty,” sapa seorang gadis Mesir, yang kemudian kuketahui namanya Isra.
Ia menghampiriku, kemudian kita saling berkenalan dengan bahasa Arabku yang memakai logat fushah, beruntungnya ia mengerti, karena sebagian lain dari mereka hanya bisa memakai logat Ammiyah, jadi mempersulit komunikasi.
Setelah basa basi dan ngobrol perihal persiapan ujian, kami saling bertukar nomor WhatsApp. Sebelum aku meninggalkannya, tiba-tiba ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Hadza hadayah laki,” ucapnya sambil menuliskan apa yang ia ucapkan pada buku yang ia beri padaku, kemudian menambahkan namaku di bawahnya. Ia memberi sebuah buku dasar belajar kaligrafi.
Aku menerimanya dengan senang hati, lalu berterima kasih. Aku merasa sedih karena tak ada yang bisa kuberi padanya. Kemudian aku berpamitan untuk segera pulang ke rumah, karena perkuliahan hari itu juga sudah selesai.
Semenjak hari itu hingga jadwal ujian dimulai kami tak pernah bertemu lagi, karena memang tidak ada aktivitas di kampus. Tapi, sesekali kami saling bertukar pesan, ia juga membantuku memahami mata kuliah yang akan diujiankan. Maklum, aku baru saja tiba Kairo, belum sempat mengikuti proses perkuliahan secara aktif.
Pertemuan kami selanjutnya, di hari pertama ujian, ia telah mengabariku untuk menemuinya seusai ujian hari itu, segera saja kutemui dirinya di tempat yang telah kami sepakati.
Lagi-lagi ia memberikan sesuatu dari dalam tasnya, sepaket hadiah lagi ternyata. Sebuah buku berukuran besar, yang biasa digunakan para mahasiswi untuk merangkum Pelajaran. Lalu sebuah kalung, mungkin jika di indonesia bisa dikatakan sebagai tanda persahabatan. Namun, saat itu pula aku lagi-lagi tak membawa sesuatu yang bisa kuberikan padanya, tak pernah terpikir juga olehku untuk saling memberi hadiah, apalagi tidak janjian sebelumnya.
Senja menyapa, kami masih larut dalam obrolan, meski sesekali aku harus menggunakan aplikasi translate. Darinya aku belajar banyak hal. Terlebih sebagai pendatang baru, di negeri yang bahasanya saja sulit aku pahami, ditambah modal bahasa Arabku yang masih sangat standar. Mempunyai seorang teman dari kalangan pribumi tentunya sangat membantu.
Gadis Mesir bermata bening itu mampu mengubah sudut pandangku terhadap penduduk Mesir yang sering kali membuat shock, bagaimana tidak, setiap kali berbicara selalu dengan nada yang tinggi, sangat mudah sekali tersulut emosi, setidaknya itu yang kupahami sejak saat pertama kali menginjakkan kaki di bumi Kinanah ini.
Editor: Fathiah Salsabila