Oleh: Khadijah Buma
“Azwa, kamu dimana?” Bunyi pesan singkat dari seorang perempuan yang baru-baru ini menjadi sahabatnya.
Ia memutar matanya malas dan mencebik kesal.
“Kenapa hm?” Tanya suara yang menenangkan di sampingnya.
“Males dicariin mulu,” keluh Azwa pada penanya.
“Ya mungkin dia khawatir, kalau mau pulang silahkan,” tanggap sosok itu, disertai kekehan kecilnya yang terdengar tampan.
“Tapi Azwa masih mau sama kak Fariz,” rengeknya manja.
“Itu juga nggak papa, pacarmu aku kok, bukan dia,” ucap Fariz dengan senyuman yang tak pernah bisa Azwa tolak.
“Kasian sih Mawar nyariin aku terus, tapi ya udahlah.” Monolog Azwa pada dirinya sendiri.
“Lagi di kekeluargaan sama adek, ngurus berkas,” dustanya yang mendapat percaya dari Mawar. Padahal ia sedang bersama sosok kekasih di sebuah kafe dalam mall yang menjadi langganan para masisir.
…
Lain waktu di flat asrama.
“Hai Azwa! Welcome! Aku habis dapat musa’adah daging loh, terus aku masakin jadi dendeng, kamu mau?” Sambut Mawar dengan ceria dan hangat.
Azwa yang merasa tengah penat sehabis jalan dari luar, ditambah tekanan batin menyembunyikan hubungannya dari Mawar pun merasa lebih tenang dan terhapuskan lelahnya.
Azwa maupun Mawar telah selesai makan, Mawar masih dengan suasana hati yang baik, mengumpulkan bekas makan dan mencucinya. Sedang Azwa tengah sibuk dengan ponselnya.
Awalnya pembicaraan dimulai dari mengucap saling rindu layaknya sepasang kekasih yang baru berpisah, bagaimana tidak, Sabi’ dan Awal sabi’ saja rasanya sudah begitu jauh bagi pasangan yang tengah berbunga-bunga ini. Lalu Azwa mengungkit soal masa ujian yang sudah semakin dekat dan ada materi-materi yang ia butuh bantuan untuk diajarkan, terutama seperti pelajaran ulum dan ilmu hisab di kelas idadi-nya. Namun, bukannya Fariz menawarkan bantuan, ia malah bilang untuk tak usah terlalu dipikirkan, padahal Fariz jauh lebih pintar darinya, dan merupakan kakak tingkatnya. Azwa merasa kesal dan bilang, minimal ia butuh waktu untuk lebih fokus belajar, dan lagi-lagi Fariz terlihat kurang setuju.
Di saat seperti ini, semua nasehat Mawar terkait hubungan haramnya perlahan-lahan semakin nyata dan tak terbantahkan. Bahwa laki-laki yang tak berani maju sesuai dengan peraturan syariat bukanlah lelaki yang baik sejatinya. Melainkan laki-laki yang hanya menginginkan keuntungan duniawi dan memanfaatkan dirinya. Di momen seperti ini juga perang batinnya kembali timbul, perang antara rasa sayang dan kebutuhan kasihnya pada Kak Fariz, dan pengakuannya terhadap kebenaran yang disampaikan Mawar.
“Nggak semua orang sepintar elu!” Gerutunya dengan suara yang lumayan keras.
Mawar yang baru datang dari dapur dan mendarat di kasurnya pun keheranan. “Kenapa?” Tanyanya.
“Ini lagi ngomongin pelajaran sama temen sekelas, dia mah bilangnya gampang-gampang aja, kan nggak semuanya sepintar itu,” bohong Azwa lagi dengan mulus.
“Hahaha, idadi kan? Emang gampang itu,” iseng Mawar pada sahabatnya.
“Ih! Sama aja! Mentang-mentang udah tsanawy!” Azwa melemparkan bantal dengan emosi, yang menurut Mawar sebenarnya sedikit berlebihan, namun Mawar tak menghiraukannya.
“Bercanda bercanda.. mau mulai belajar kapan? Ntar dibantuin deh serius,” Mawar memeberikan senyum manisnya.
“Malam ini dong, asli nggak bakal kekejar kalau mulainya besok-besok,” pinta Azwa.
“Ya udah hayuk,” Mawar pun setuju.
Malamnya sesuai yang dijanjikan, Mawar membantu Azwa menerjemahkan muqarrar-nya, kata perkata. Di sela-sela waktu belajar itu, Azwa sering termenung terkait perilaku dirinya yang tidak baik pada Mawar. Ia sering merasa, Mawar seperti kelopak indah yang mekar sesungguhnya, dan ia hanya seperti batang duri yang selalu menyakiti. Ia ingin menjauh dari Mawar, tapi Mawar satu-satunya yang bertahan setelah mengetahui panjang daftar dosanya. Tidak seperti orang-orang lain yang pernah ditemuinya yang selalu menjauhi dan mencacinya. Ia berjanji akan berubah pada Mawar, namun kenyataannya ia belum sanggup dan bertindak sebaliknya. Ia sering bertanya-tanya mengapa ada orang sebaik Mawar, Mawar juga masih harus mempersiapkan ujian tsanawy-nya. Tapi, sahabatnya malah disini, membantu anak 1 idadi yang sering tersingkir sepertinya.
“Kamu udah capek ya?” Mawar memecah hening Azwa.
“Lumayan, tapi lanjutin aja,” jawab Azwa.
Mawar tak langsung menjawab dan memperbaiki duduknya, meregangkan tubuhnya yang mulai pegal.
“Lancar tadi ngurus berkasnya?” Mawar membuka pembicaraan.
Azwa sedikit terkejut dan cepat menjawab agar tidak dicurigai, “Iya, lancar kok, Alhamdulillah.”
Mawar mengangguk ringan, dan mulai tersenyum miring dengan halus. “Gini deh, aku nggak suka basa-basi anaknya, kamu tadi pergi sama siapa? Habis aku chat kamu, aku ketemu adekmu di ba’alah baru pulang dari Darrosah, jelas kalian nggak lagi pergi bareng,” tanya Mawar lurus, tetap dengan menjaga intonasi yang lembut. Meski bagi Azwa hawa yang mengintimidasi tak lagi terhindarkan.
Azwa kehabisan jawaban, karena posisi kekeluargaanya jelas di Asyir.
“Kayak biasa, aku nggak akan marah kalau kamu bisa jujur,” terang Mawar.
“Aku masih nggak sanggup kalau harus ngelepas sekarang,” pungkas Azwa lebih awal.
Mawar menghela nafas bingung. “Aku bisa bantu apalagi supaya kamu bisa berubah? Kamu tau dari awal, dari awal banget kalau hubungan such as pacaran atau HTS dan semisalnya itu dilarang, tapi kamu kayak berusaha buat pertahaninnya, kalau udah kayak gini aku juga bingung, kalau aku juga nggak bisa bantu kamu buat berubah, aku pernah bilang aku nggak masalah, buat mundur, usahakan yang terbaik sama dia buat hidup kalian, tapi kamu yakin dia sebaik itu kah? Sebaik itu buat bikin kamu berhasil jadi orang terpandang, atau minimal berhasil jadi pelajar atau tokoh di negeri kinanah ini? Kayaknya yang ngeremehin pelajaran tadi juga bukan ‘teman sekelasmu’, iya bukan?” Mawar mulai mengeluarkan argumen tajamnya.
Azwa mau pun Mawar kemudian terdiam seribu bahasa.
“Kamu boleh jujur, aku nggak akan marah,” ucap Mawar kembali lembut, meski terdengar sedikit pasrah.
Azwa merasa hatinya sesak, nafasnya mulai memanas, perlahan butir air mata memenuhi kelopaknya. Untuk beberapa menit, ketimbang menjawab pertanyaan Mawar, ia justru menangis. Hatinya dan pikirannya dipenuhi rasa bersalah, di saat seperti ini ia baru menyadari hadirnya sosok cerewet seperti Mawarlah yang mungkin seringkali membuatnya kesal, lagi pula siapapun bisa mengomelinya,tapi seandainya tak ada rasa gelisah dan tertekan dari nasihat-nasihat yang rutin dikeluarkan Mawar, mungkin ia akan terjerumus lebih jauh dari sekedar backstreet dan rutin berbohong seperti saat ini. Ia mungkin kesal saat dinasihati, tapi dari hatinya yang terdalam jujur ia lebih tertekan dengan perasaan gelisah untuk terus menjalankan perkara-perkara yang bertentangan dengan tujuan hidupnya.
“Kamu mau aku pergi?” Tanya Mawar bermaksud memberi ruang pada sahabatnya.
Tapi Azwa menangkapnya dengan makna lain, ia menggeleng cepat, “Azwa juga nggak bisa kalau berubah sendri, Azwa masih mau dibantuin,” ucapnya sesenggukan.
Mawar yang sedikit tersanjung dengan jawaban sahabatnya, kembali duduk dan menatap tanpa amarah sosok di depannya.
Di saat Azwa merasa dirinya adalah seorang pendosa yang buruk, Mawar selalu merasa ada jalan untuk dirinya. Mawar mengulur tangannya dan mengelus kepala Azwa dengan lembut, “Oke, aku bantuin lagi, dengan syarat nggak ada bohong-bohong lagi yaa, udah.., udah nangisnya.., malah makin keras,” Mawar tersenyum tulus.
“Kamu tau nggak apa salah satu hal yang indah di dunia ini? Seorang perempuan yang menangisi dosanya di bawah langit malam dengan bulan purnama,” hibur Mawar untuk sahabatnya, seorang pendosa, yang ingin mencoba lagi, untuk memperbaiki dirinya.
Editor: Fathiah Salsabila