Ambisi yang Kuat

Oleh: Raj Afif Thaifury

Langit biru dengan kabut yang perlahan mulai menghilang. Matahari mulai menampakkan dirinya. Pagi hari yang cerah tapi tidak berbanding terbalik dengan raut wajah dan hatiku saat itu. Mataku tertuju pada jam dinding bandara yang menunjukkan pukul 07.10 WIB. Air mataku mulai mengalir membasahi pipi secara perlahan, menangisi kecerobohanku yang telah kuperbuat. Pesawat telah lepas landas, kini aku tak tahu apa yang harus ku lakukan, dan ini merupakan perjalanan sendiri pertama kalinya untukku.
                                     ☆☆☆        ☆☆☆
Enam tahun lalu, aku seorang anak santri yang duduk di bangku SMP dengan memiliki berjuta impian yang belum tentu arah, semua impian kutulis dalam sebuah buku. Sebagai anak sulung aku harus menjadi anak yang mandiri, kuat, dan teladan bagi adikku. Semua harus kulakukan dengan sendirinya, melihat kondisi ekonomi keluargaku. Aku bersekolah dengan beasiswa penuh dari pesantren, karena memiliki banyak prestasi dan aku juga dapat menyelesaikan SMP dalam dua tahun. Sebelum tamat SMP, aku telah menyelesaikan karya tulis sebuah buku yang berjudul Santri Berprestasi, dari situ jugalah aku mendapatkan penghasilan dan beasiswa menuju jenjang MA.

Pada jenjang MA di pesantren aku mulai menemukan arah yang kutuju. Yakni, memiliki impian untuk berkuliah di Al-Azhar, Kairo. Dari sini aku mulai menyukai semua tentang belajar dan bahasa arab. Semua kulakukan untuk bisa mengusai bahasa arab mulai dari menghafal mufrodat, menulis insya’ dan muhadatsah. Meskipun dalam menghafal aku sangat kurang, keunggulanku dalam menulis berbahasa Indonesia maupun bahasa Arab tidak aku sia-siakan.

Saat MA aku juga menulis buku berjudul Santri Mendunia. Di akhir tahun pembelajaran kelas enam ada tes yang diadakan kuliah untuk ke Timur Tengah, termasuk tes ke Al-Azhar di dalamnya. Aku pun mengikuti tesnya.

Seminggu setelah dilaksanakan tes, nama-nama santri yang lulus diumumkan. Ternyata namaku tidak tercantum dalam selembar kertas di depan kantor kepala sekolah. Seketika aku teringat sebuah kalimat yang tertulis di bukuku sendiri, “Awal adalah percobaan, pertengahan adalah pencapaian dan akhir adalah keberhasilan.” Kini aku masih berada di tahap pencapaian.

Wisuda sekolah telah dilaksanakan teman-teman yang lain sudah mendaftar di kampus-kampus dalam negeri dan luar negeri. Sedangkan aku belum belum mendaftar di kampus manapun, karena aku masih memiliki ambisi yang besar untuk berkuliah di Al-Azhar.

Tiga bulan kemudian, aku mendapatkan informasi bahwa Al-Azhar membuka kembali pendaftaran tes untuk kuliah. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mendaftar. Waktu tiga bulan ini kuisi dengan belajar. Tes diadakan pekan depan, sangat matang persiapan yang telah aku lakukan. Kemudian tes dilaksanakan, untuk pengumuman hasil tes diumumkan pada bulan depan.

Tibalah waktu pengumuman hasil tes. Seketika aku sujud dan berteriak dengan segala ucapan syukur, kedua orang tuaku ikut senang mendengarnya. Bukan hanya lulus, aku juga mendapat beasiswa untuk keberangkatan dan kuliah. Aku juga dapat pengumuman bahwa aku akan berangkat pada bulan september setelah semua berkas disiapkan. 

Aku berangkat dari Pekanbaru dua hari sebelum hari H keberangkatan, aku berencana singgah di Jakarta untuk berpamitan dengan guru-guruku disana. Sebelum keesokan hari keberangkatan, aku telah mempersiapkan semuanya dengan teliti dan pesawat akan take off pada pukul 7.00 WIB. 
Tiba-tiba aku terkesiap melihat jam menunjukkan pukul 6.45 WIB. Aku langsung beranjak dari tempat tidurku tanpa mandi dan hanya mengganti pakaian. Tanpa pikir lebih lama aku langsung memesan taksi online, jam sudah menunjukkan pukul 6.50 WIB. Sedangkan dari tempatku menginap menuju bandara paling cepat memerlukan waktu 15 menit, Tibanya di bandara aku berlari ke tempat check-in berharap tidak ketinggalan pesawat dan pesawat yang aku tumpang delay.

Semua yang aku harapkan sudah hilang, ketika pegawai maskapai mengatakan pesawat telah take off. Aku hanya bisa merenung dan duduk di sebuah kursi, mataku tertuju pada jam dinding bandara yang menunjukkan pukul 07.10 WIB. Air mataku mulai mengalir membasahi pipi secara perlahan, menangisi kecerobohanku yang telah kuperbuat. Pesawat telah lepas landas, aku tak tahu apa yang harus ku lakukan dan ini merupakan perjalanan sendiri pertama kalinya untukku.

“Tidak semua jalanan aspal ada yang mulus, pasti ada sebuah kerikil kerikil yang kau anggap kecil dan remeh. Namun, dapat mengganggu rencana besar sebuah perjalanan.” Lagi-lagi aku selalu ditemani kata-kata motivasi yang kutulis di bukuku, yang membuatku menjadi seorang yang kuat.

Kemudian, mau tidak mau aku harus menelepon kedua orang tuaku, “Assalammualaikum, ayah,” ucapku dengan nada bicara masih terisak-isak.

“Waalaikumussalam, kenapa nak? Kok kamu belum di pesawat, kan seharusnya jam segini kamu sudah take off .” Ayahku bertanya dengan nada sedikit bingung, aku pun menjelaskan semua yang terjadi. Di akhir pembicaraan ayah mengatakan, “Oke, untuk pekan depan akan ayah carikan pesawat untuk pulang ke Pekanbaru karena kalau untuk ke Mesir ayah belum punya uangnya,” ujar ayahku.

Sesampainya di Pekanbaru aku langsung memeluk erat ayah dan ibuku sambil meminta maaf dan menyesal atas kecerobohanku. Pulangnya aku ke Pekanbaru, juga untuk mencari uang supaya aku bisa berangkat ke Mesir. Waktu tersisa dua bulan sebelum mendekati tanggal ujian termin satu yang biasanya dilaksanakan pada akhir desember. Aku memiliki rencana untuk berjualan es tebu yang diperkirakan akan lebih banyak mendapatkan untung, yang kebetulan pamanku memiliki alat dan gerobaknya yang tidak terpakai.

Menurut perhitunganku setelah hari pertama berjualan, uang penghasilanku ini tidak akan cukup untuk tiket berangkat. Aku berinisiatif untuk menambahkan satu menu yakni es teh. Dengan ini penghasilanku diperkirakan akan lebih dari uang yang dibutuhkan.

Setelah penghasilanku tercukupi, pada pertengahan November aku merencanakan keberangkatanku. Aku memesan pesawat yang transit mulai dari  Pekanbaru-Jakarta-Doha-Kairo.
Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Kairo untuk menempuh pendidikan. Kali ini aku tidak ingin kejadian yang telah berlalu terjadi kembali. Aku meminta rida dan doa dari kedua orang tuaku semoga pendidikan dan perjalananku lancar.
                               ☆☆☆                ☆☆☆
Pemandangan Pyramid menghiasi gurun pasir yang membentang luas dan hampa terlihat sebelum pesawat mendarat di Bandara Internasional Kairo. Terdengar suara yang keras mesin pesawat saat mendarat di landasan. “Alhamdulillah” ucapku sampai di bandara dengan selamat.

Bismillahirrahmannirrahim, allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad, ya Allah mudahkan jalan hamba dalam menuntut ilmu di negeri para nabimu ini,” ucapku ketika turun dari pesawat.

“Aku tahu allah memiliki rencana yang lebih indah yang tidak diketahui hambanya.” Tertulis diakhir buku Santri Mendunia karyaku.

Editor: Fathiah Salsabila

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *