Palestina, Luka Kemanusiaan yang Tak Kunjung Sembuh

Penulis: Fikih Azali

Editor: Khadijah Buma

Di tengah dunia yang terus berisik soal perdamaian, keadilan, dan hak asasi manusia, tragedi kemanusiaan terbesar abad ini justru berlangsung tanpa jeda di tanah Palestina. Di sana, nyawa manusia tak lebih berharga dari propaganda. Bayi-bayi tak berdosa meregang nyawa, anak-anak yang belum genap mengenal dunia terpaksa tumbuh dalam ketakutan, jikalaupun mereka selamat. Rumah-rumah hancur, tenda-tenda pengungsian dibombardir, bahkan relawan kemanusiaan pun dibunuh tanpa berperikemanusiaan.

Apa yang terjadi di Palestina bukan lagi sekadar konflik atau perang. Ini adalah genosida terang-terangan yang diperlihatkan langsung di hadapan dunia. Lebih dari itu, ini adalah tragedi yang telah melampaui batas kemanusiaan, lebih brutal dari apa pun yang pernah ditulis dalam sejarah mengenai luka umat manusia.

Ironisnya, bangsa laknatullah, pelaku kekejaman ini lihai membalikkan fakta. Mereka menjual narasi seolah-olah sedang membela diri, padahal mereka adalah penjajah yang terus memperluas wilayah dan mengorbankan kehidupan warga sipil demi ambisi kolonialisme modern. Dunia menyaksikan semua ini, namun banyak yang memilih bungkam, atau bahkan membela penjajah dengan alasan politik, ekonomi, dan aliansi kekuasaan.

Kita hidup di zaman di mana penderitaan satu kelompok bisa dibungkam dengan sensor, disamarkan oleh algoritma, dan ditutup oleh narasi-narasi “netral” yang sejatinya penuh keberpihakan. Palestina hari ini bukan hanya medan perang, tapi cermin kejujuran dunia: siapa yang benar-benar menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan siapa yang hanya berpura-pura peduli.

Namun, di tengah keterbatasan, kesadaran kolektif umat manusia kini mulai bangkit. Suara-suara dari penjuru dunia meskipun kecil dan tersebar terus menguat, menolak diam atas kezaliman. Media alternatif, aktivis independen, dan masyarakat sipil menjadi corong bagi mereka yang tak lagi memiliki tempat aman untuk berteriak.

Maka, sebagai bagian dari komunitas global dan umat beriman, kita tak boleh memilih diam. Sekecil apa pun langkah kita, bisa jadi berupa: dukungan moral, doa, edukasi, atau advokasi, adalah bagian dari perjuangan melawan penjajahan. Sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di sisi kebenaran, dan siapa yang memilih aman dengan membungkam nuraninya.

Kepedulian terhadap Palestina bukan sekadar keberpihakan politis, tapi ujian kemanusiaan. Karena pada akhirnya, tragedi ini akan berhenti bukan hanya ketika bom tak lagi dijatuhkan, tetapi ketika dunia berani dan tegas menolak untuk membiarkan kebohongan hidup lebih lama dari kebenaran.

Dan semoga, saat kelak sejarah diungkap di hadapan Sang Hakim Yang Maha Adil, kita dapat berdiri tegak, menyatakan dengan yakin:”Aku tidak diam saat genosida terjadi.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *