Apakah Bisa Kesahihan Akidah Islam di Buktikan Secara Ilmiah?

Kairo, Ahad 13 Oktober 2024 pukul 19:30 saya menghadiri diskusi yang diadakan oleh komunitas yang disebut Angkringan Raudatul Mufakirin. Diikuti oleh kurang lebih 80 orang Mahasiswa Mesir dengan tema “Membongkar Si-paling Ilmiah” mendapat antusias yang luar biasa dari para audiens. Bertempat Di Antara Cafe diskusi tersebut dipimpin oleh moderator Muhammad Rangga Perkasa, Lc. bersama dua pemantik Mubarok Al- Baqir, Lc. dan Azzam Wafy Abaqary, Lc.

Diskusi kali ini menambah wawasan baru bagi saya pribadi dan membuka fikiran lebih luas. Belakangan, beberapa orang yang saya temui memiliki pemahaman bahwa memposisikan iman dalam agama merupakan penerimaan subjektif dan sebatas dogma saja, bukan sesuatu yang bersifat ilmiah. Jika kita mengatakan iman adalah sesuatu yang ilmiah maka kita temui banyak orang yang heran dengan statment tersebut.

Saya mengira itu adalah efek dari Hegemoni Epistemologi kaum sekuler yang kerap kali membatasi pengetahuan dan terpaku pada pengetahuan indrawi. Sebagai pelajar muslim kita tidak mengingkari bahwa pengetahuan indrawi itu ilmiah, dan kita tidak perlu mendebati sesuatu yang sudah pasti menurut panca indra. Seperti mempertanyakan bukti bahwa gula itu manis dan api itu panas.

Ada dua persoalan inti dalam pembahasan ini:

1. Apakah pengetahuan ilmiah itu hanya terbatas pada pengetahuan empiris?

2. Apakah Akidah Islam itu bisa di buktikan kesahihan nya secara ilmiah?

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Al-Mustashfa min ‘ilmil ushul” Akidah itu adalah fondasi dari seluruh keilmuan islam. Artinya jika ada orang yang mengingkari keilmuan akidah dalam Islam secara tidak sadar orang tersebut telah meruntuhkan keilmuan Islam. Pendapat ini sangat logis karena seorang ahli Tafsir jika ingin menafsirkan Al-Qur’an dia harus membuktikan terlebih dahulu apakah Al-Qur’an firman Tuhan atau bukan.

Prof. Dr. Said Ramadhan Al-Buthi berpendapat bahwa keberadaan Allah itu adalah klaim ilmiah  bukan berasal dari pengetahuan yang bersifat empiris melainkan pengetahuan rasional. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani juga berpendapat bahwa metode ilmiah merupakan cabang dari  metode rasional, menurut beliau cara berpikir rasional lebih luas dari pada sekedar eksperimen empiris. Karena mencakup proses pengamatan, penalaran, dan pengambilan kesimpulan berdasarkan fakta yang bisa diterima oleh akal baik itu fakta empiris maupun fakta “metafsika.”

Salah satu contoh argumen metode rasional adalah untuk membuktikan keberadaan Allah, yang sering disebut dengan “Argumen Kosmologis” argumen ini berawal dari pengamatan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta memiliki sebab, jika kita melihat sesuatu yang ada maka dituntut untuk mencari tahu apa penyebabnya. Alam itu selalu berubah dan setiap yang berubah itu baru maka butuh kepada yang mengubahnya, maka penyebab alam semesta berubah adalah pencipta yaitu Allah Ta’ala.

Harus diakui, metode ilmiah memang sangat efektif dalam memahami fenomena alam dan menghasilkan inovasi teknologi, namun ketika digunakan untuk menjawab pertanyaan yang melampaui batas empiris, seperti pertanyaan tentang tujuan hidup atau hakikat moralitas, metode ini sering kali gagal. Maka metode rasional yang lebih luas mengambil peran. Metode ini memungkinkan kita untuk menggunakan akal agar merenungkan hal-hal yang tidak bisa diuji di laboratorium. Dengan kata lain metode ilmiah hanyalah alat di dalam kotak peralatan yg lebih besar, yaitu metode rasional.

Pelajaran bagi seorang muslim adalah kita diminta mempu berpikir kritis dan universal. Kita tidak bisa membatasi pikiran pada hal-hal yang bersifat empiris semata. Sebagaimana ilmuwan muslim terdahulu seperti “Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Khaawarizmi” mereka menjadi pelopor dalam berbagai disiplin ilmu dari Matematika hingga kedokteran dan dari astronomi hingga filsafat. Mereka bukan hanya berpegang pada metode empiris saja untuk memahami dunia, tapi juga berpegang teguh pada wahyu sebagai pemandu dalam mencari kebenaran.

Maka kita sebagai seorang pelajar muslim hendaklah berpegang pada dua sistem yaitu metode ilmiah dan wahyu. Karena metode ilmiah sangat efektif dalam memahami fenomena fisik dan wahyu sebagai pemandu agar kita tidak keluar dari jalan yang benar.

Penulis : Ibni Noer Hakim

Editor : Muhammad Albar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *