Tumbuh dan Mekar Bersama

Oleh: Khadijah Buma

Azwa masih merunduk dalam, air matanya tak mau berhenti mengalir, meski mulutnya sudah lelah meracau dan berteriak, tangisnya tak kunjung reda. Dua tahun berlalu, hubungannya dengan kekasih baik- baik saja selama ini, jadi siapa sangka Azwa akan mengalami hal semacam ini? Janji manis sebuah pernikahan pupus dengan kalimat singkat nan menyakitkan. “Kita udahan aja ya, aku sebenarnya udah dijodohin, dan nggak bisa nolak, aku udah makhtub sekarang, jadi jangan ganggu lagi,” seolah Azwa hanyalah hama dan biang keroknya selama ini, padahal kan yang menjalani kisah ini adalah mereka berdua, dengan kemampuan stalking seorang perempuan, Azwa sempat mencari siapa sosok tunangan mantannya, hatinya semakin remuk dan hancur lagi kala faktanya, tunangan mantannya memang jauh lebih cantik menawan membuat Azwa merasa kalah total, dan hancur sehancur-hancurnya.

Klek!

Pintu yang sedari sore tertutup rapat kini terbuka, menampilkan sosok yang enggan Azwa temui sekarang, tapi walau tak ingin, mungkin sosok inilah yantg ia butuhkan untuk saat ini.

***

Mawar terdiam bisu menatap sosok Azwa yang sudah terlelap. Jujur saja sedari tadi keduanya tak ada yang bersuara. Azwa tak memberi tahu Mawar perihal patah hatinya. Mawar sendiri hanya tau dari instagram story laki-laki berengsek yang menyakiti sahabatnya. Dua tahun berlalu, persahabatan mereka semakin erat. Namun, karena kondisi tertentu Mawar dan Azwa tidak lagi satu tempat tinggal di asrama seperti sebelumnya.Keduanya masih saling bertukar kabar. Namun, sayangnya Azwa terlena dengan sikap baik Fariz yang makin hari makin menjanjikan terhadap Azwa, yang ternyata Azwa salah. Laki-laki yang tidak bernyali sedari awal memanglah tidak akan bernyali sampai akhir.

Di detik ini banyak yang Mawar sesali; kesibukannya di organisasi, kelalaiannya terhadap janji manis sang pria terhadap temannya, kondisi tempat tinggal mereka yang terpisah, seluruh hal yang membuat ia tak bisa menjaga Azwa.

Dua tahun ini banyak kondisi Mawar yang berubah, salah satunya ialah jabatan organisasi dan kesibukannya sebagai mahasiswa, jika mau ia bisa saja menggunakan kekuatan jabatannya untuk membalas dendam, tapi tidak, niat buruk akan berujung pada akhir buruk juga.

Lama dalam keheningan, Mawar berusaha menyeimbangkan rasa bersalahnya dengan nasihat orang tuanya. Bahwa di satu sisi semuanya juga pilihan Azwa secara sadar, bukan kesalahan Mawar yang disengaja, bukan keinginannya.

Pilihan Azwa yang menjatuhkannya dalam jurang khalwat yang sejatinya mempertaruhkan mental, raga, iman, bahkan kesucian, bukan mendatangkan kebahagiaan dan keamanan. Peran Mawar bagi hidup Azwa bukanlah orang tuanya, malaikatnya, pelindungnya, apalagi penanggung dosanya.

Mawar adalah teman dan sahabat bagi Azwa. Maka, setelah mencegahnya terjatuh dalam jurang, tugasnya adalah untuk mengobati jika hal yang tidak diinginkan terlanjur terjadi.

Mawar akhirnya beranjak dan meminjam kamar mandi Azwa, sekarang sudah jam dua pagi, ibadah dan berdoa mungkin akan membuat hatinya lebih baik.

Paginya Mawar bangun, Azwa tak lagi tidur di kasur di sampingnya, dia segera melaksanakan solat subuh dan menemukan Azwa di dapur.

“Woh! apani- HAHAHAHA” tawa pecah dari mulut Mawar, begitu pun Azwa yang lebih kepada terkekeh panjang. Keduanya terkejut melihat muka satu sama lain, yang satu matanya bengkak menghitam karena kebanyakan menangis, dan yang satu pun tak kalah jeleknya karena kekurangan tidur, betapa konyolnya mereka berdua pagi ini. Mawar bersemangat duduk terlebih dulu di depan meja belajar lesehan ala anak kos, yang sudah disuguhkan nasi goreng buatan Azwa. Biasanya Mawar yang memasak, maka dari itu dia sangat bersemangat.

“Ngobrol dulu atau makan dulu nih?” Pancing Mawar dengan ceria.

Azwa tersenyum malu, “Dua-duanya!” Seru mereka berdua, sudah fasih membaca isi pikiran masing masing.

“Sudah ngerasa baikan?” Tanya Mawar memulai.

Azwa menggeleng, jelas belum. Mawar mengangguk.

“Kamu?” tanya Azwa balik.

“Aku? Aku kenapa?” bingung Mawar dengan komuk yang dibuat-buat.

“Jangan bohong, kamu pasti kecewa,” tegas Azwa dengan nada bergetar di akhir. “Aku sering banget nggak dengerin kamu, jalan bareng, main bareng, telfonan, bahkan aku tuh percaya banget sama dia sampai berapa kali dibawa ke rumahnya,” aku Azwa, mengeluarkan seluruh keluh kesah hatinya.

“Aku pikir bisa percaya, tapi ternyata nggak, semuanya tetap aja palsu. Waktu itu kamu bilang, cowok yang sejati itu adalah yang berani melamar langsung tanpa ngajak pacaran, aku pikir terlalu idealis, tapi sekarang aku sudah ngerasain faktanya, dimanfaatkan, dan akhirnya sebagai perempuan aku yang paling banyak rugi, secara mental maupun fisik.” Suara Azwa menghilang di akhir, berlanjut dengan tangis sesenggukan yang pecah kembali. Mawar diam, untungnya penghuni kos lainnya belum bangun. “Aku minta maaf Mawar, aku minta maaf.”

Mawar ikutan menitikkan air matanya, tapi ia berusaha tegar dan tak melanjutkan tangisnya. Benar, Mawar kecewa, tapi rasa kecewa itu tak boleh sampai melumpuhkan niat baiknya menjadi sahabat. “Nggak papa, semua orang pernah salah,” hibur Mawar semampunya.

“Dan gua salah.. salah banget..” Lanjut Azwa terbata-bata.

“Udah.. Kamu itu masih hebat kok,” hibur Mawar lagi.

“Bohong,” ceplos Azwa. Mawar tersenyum tipis. Kadang bestie dan bestai itu beda tipis memang.

“Beneran, gua belum pernah cerita sih sama lu, soalnya gua rasa nggak butuh, tapi gua pernah punya teman, sebelum kita serumah bareng, gua juga deket sama orang tunya, ceritanya mirip sama lu, tapi lebih ke hts. Sok-sokan nggak pacaran tapi yah, lebih parah lah, awal gua ketemu lu, gua ogah banget, karena alur ceritanya mungkin bakal sama aja, curhat ke gue, minta dinasehatin tapi nggak didengerin.  Tingkahnya udah berubah tapi ternyata nggak, dia bohong ke gue dan secara nggak langsung bikin gua boong sama orang tuanya, terakhir kami berantem, dan penyesalan gua adalah, gua kebawa emosi disitu, dia jadi ngerasa nggak punya tempat pulang, akhirnya dia pergi dan pesan kamar sama cowoknya, hari itu gua kecewa berat dan hari itu jadi akhir cerita gua sama temen gua yang dulu.”

“Parah banget, gua nggak sampe mau sekamar tidur gitu, siapa itu?”

“Namanya sama, sama lu btw.” Mawar menahan tawanya.

“Parah ih! Aku nggak kayak gitu! Aku masih mau berubah, aku nyesel, aku nggak mau ngulangin lagi demi Allah demi Allah demi Allah bakal bisa jadi sholehah banget yang ini mah!” Azwa menggebu-gebu.

“Nah maka dari itu aku masih percaya sama kamu, aku juga masih punya kekurangan Azwa, aku tipe yang bakal kalap sama jabatan kamu tau kan? Kamu berhasil ngejaga aku dari itu, dan aku bisa ngejaga kamu dari sisi yang lainnya, gua maafin lu, lu maafin gua, dan kita saling perbaiki satu sama lain lagi? Gitu kan? Tumbuh dan mekar bersama,” hibur Mawar yang terkesan menggelikan di akhirnya.

“Huwek,” ledek Azwa datar.

“Heh! Bisa bisanya lagi nangis ngeledekin orang!”

“Bercanda bercanda, iya, aku butuh buat dinasehatin terus dan kita bisa saling nasehatin, tumbuh dan mekar bersama di jalan Allah,” ucap Azwa meniru gaya menggelikan Mawar.

Editor: Fathiah Salsabila

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *