Oleh: Fathiah Salsabila
“Jangan sampai perasaan kesal kamu menjadi suatu hal dalam wujud menyakiti. Jelas kita tidak akan pernah menjadi sempurna, tapi setidaknya kita mencoba untuk menjadi baik,” ucapnya kala itu.
Aku sudah tidak menangis. Hari itu kami bertemu, seperti biasa, hanya untuk bertanya kabar, mengobrolkan banyak hal.
Beberapa waktu lalu aku menghubunginya lewat telepon sambil terisak-isak. Ia di ujung sana, mendengarku saja, membiarkanku menangis, menungguku reda untuk menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.
“Dia nanya ke aku dalam kondisi saat itu rame, dalam perkumpulan orang-orang yang baik dan hidupnya lurus-lurus aja menurutku. ‘Emangnya kamu udah hidup dengan lurus?’ Aku dengan sadar ngerasa diriku emang jauh kurang dari mereka yang ada disitu, dalam bidang apapun. Aku merasa rendah diri saat itu. Aku diem, semua yang disitu pun diem tanpa ada yang menyanggah dia.
Aku merasa dikuliti, hina. Selama ini aku pernah ngelakuin apa? Aku nggak konsumsi narkoba, minum alkohol, judi, merokok, pacaran, aku nggak pernah menghardik orang lain atas egoku. Aku tahu mungkin banyak hal dalam diriku yang belum maksimal, tapi di tempat rame, dia bilang kayak gitu? Emangnya dia nggak tahu yang namanya tenggang rasa, masa dia nggak tahu tentang apa yang seharusnya dia katakan atau nggak di khalayak ramai?”
Aku mengomel, menumpahkan perasaanku akhir-akhir ini. Semuanya sudah menumpuk; kemarahan, sedih, sebal di dalamku. Ia, lagi-lagi memvalidasi perasaanku saat itu, aku merasa lega setelah bercerita kepadanya. Setelah selesai semua perasaanku yang menumpuk diceritakan, barulah kami mengobrol tentang hal lain. Ia menceritakan pula apa yang terjadi akhir-akhir ini padanya, kami mengobrolkan banyak hal random.
“Aku masih ngerasa marah. Setidaknya untuk sekarang aku nggak pengen melakukan hal apapun yang bikin orang itu untung,” kataku.
“Nggak apa-apa selama kamu nggak melakukan hal yang merugikan dia. Kamu boleh marah, kesal, apapun itu. Tapi jangan berlarut, kita semua masih manusia,” katanya sambil menyeruput santai milkshake di hadapannya.
Wah, perkataannya kali ini menamparku.
***
“Bel, kamu ikut dukung si Renata lomba gak hari ini?” Asya, teman sekamarku menepuk pundakku tiba-tiba saat aku asyik membaca.
Ah, aku masih menyimpan perasaan kesal pada Renata. Daripada aku melakukan atau mengatakan hal-hal yang tidak baik ketika bertemu dengannya nanti, lebih baik sekarang aku tidak bertemu dengannya dulu.
“Aku nggak ikut dulu, Sya. Ada tugasku yang belum selesai soalnya. Sampaikan aja salamku buat Renata, ya.”
Asya hanya mengangguk setelahnya, lalu bersiap-siap untuk pergi.
***
Life is but a dream, we got history (I just wanna)
Feel the chemistry, feel you next to me (you know that I)
Hate this distance
Nada dering khusus yang kupasang untuk Anin membuatku terbangun. Aku buru-buru mengambil handphone-ku dan menjawab panggilannya.
Dari sana, terdengar isakannya, keras sekali.
“Kamu kenapa? Kalau udah selesai nangisnya, ceritain aja nggak apa-apa. Sekarang kamu nangis dulu aja.”
Sebenarnya kalau sedang seperti ini, aku juga jadi ingin menangis. Tapi kalau begitu, malah akan jadi nangis berdua dan Anin tidak akan kudengarkan karena kami sama-sama menangis. Jadi aku harus kuat menahan tangis, demi Anin.
Setelah isaknya mereda, ia mulai bercerita apa yang terjadi, dan aku mendengarkan.
***
Hari itu hujan, aku termenung di atas kasurku, menatap air yang berjatuhan di luar jendela. Perasaanku tidak nyaman, aku sebal terhadap diriku sendiri. Semenjak aku berkuliah, aku tidak punya prestasi apapun, tidak pernah mengikuti lomba apapun. Apa selama ini aku melakukan hal yang berguna? Rasanya saat aku mengerjakan tugas, melakukan pekerjaanku, kenapa tidak sebaik ketika orang lain yang mengerjakannya? Apa aku orang baik di dunia ini? Atau selama ini aku hanya menyampah di dunia saja?
Aku meraih handphone-ku, lantas membuka room chat-ku dengannya.
ANIN
You: Anin, aku bingung
Read.
Tiba-tiba handphone-ku berdering, itu panggilan dari Anin.
“Are you okay, Bel?”
Aku langsung terisak. Rasanya sesak sekali, aku tidak bisa mendeskripsikan betapa rendah dirinya aku saat itu, dan Anin ada, ia selalu menyempatkan tentang hal-hal yang berhubungan denganku. Anin hanya diam di seberang sana, menungguku selesai menangis.
“Anin maafin aku. Selama ini aku bukan teman yang baik, aku punya banyak kekurangan, temperamenku buruk, ngomongku blak-blakan, mood-ku suka kacau dan sering berimbas ke kamu. Aku bukan orang baik, nin.”
“Bela, dengerin aku. Kamu Bela Andania, inget kalo kamu tuh, manusia sayang. Punya kekurangan pastinya, dan jangan lupa kalo semua orang punya kelebihan masing-masing. Temperamenmu nggak buruk, kok. Ngomong blak-blakan? Apa yang salah dengan itu? Kamu pun nggak ke semua orang bersikap kayak gitu. Mood kacau? Kita perempuan, Bel. It’s normal kalau terkadang kamu kacau dan susah mengendalikannya.
Kamu orang baik Bela. Ketika aku butuh sesuatu, kamu pasti ada. Kalau kita ketemu dan ada sesuatu yang berbeda dari aku, kamu pasti notice dan berusaha untuk bikin perasaanku membaik. Kamu nggak pelit ke orang-orang, kamu orang yang ceria dan gampang bikin orang lain nyaman sama kamu.”
“Aku nggak pernah ikut lomba dan nggak punya prestasi apapun di perkuliahan, Nin. Kerjaanku juga gak sebagus orang lain.” Suaraku mulai serak, hampir menangis lagi.
“Lomba bukanlah kewajiban di hidup kamu. Prestasi juga bukan hanya tentang sertifikat dan medali-medali itu. Bel, mungkin orang-orang gak tahu perjuangan hidup kamu, cerita-cerita kamu. Tapi aku tahu, Bel.
Waktu kamu ikut kepanitiaan tahun lalu, divisi konsumsi. Kamu cuma anggota konsumsi, tapi kamu nge-back up semua tugas koordinator konsumsi saat itu karena dia sakit, dan acara berjalan lancar saat itu.
Di saat Asya kena rumor gak jelas dan bikin dia dijauhin sama orang-orang. Kamu masih santai aja barengan sama dia kemana-mana, gak peduli dengan rumor itu karena kamu tahu Asya gimana orangnya dan kamu gak goyah hanya karena ‘perkataan orang lain’.
Di dunia ini banyak orang pintar, berprestasi, kaya. Tapi nggak semuanya punya empati yang baik, Bel, dan kamu punya itu.”
Aku tak membalas apapun, bebanku rasanya sudah diruntuhkan oleh Anin. Pikiran-pikiran buruk tadi semuanya dihancurkan Anin.
“Bel?”
“Nin, makasih banyak ya udah mau dengerin aku. Aku dan pikiran konyolku ini menyebalkan.”
“Anytime, Bel. Itu gunanya teman, pikiran konyolkah, pikiran buruk, pikiran berbahaya, semuanya bisa dibagi dan diobrolkan. Ada lagi yang mau kamu bilang?”
“Aku udah lega, Nin. Makasih banyak lagi-lagi.”
“Okay, glad to hear that. Kalo gitu, aku nugas dulu, ya?”
“Silakan Aninta Rahayu.”
“Kamu kalo ada apa-apa lagi, kasih tahu aku ya. Dah, Bel!”
“Dah, Nin!”