Surat dalam Sisipan Buku

Oleh: Muhammad Fachri Aziz

Dimulai pada hari rabu, dimana ayah masih memotong kayu karena pekerjaannya sebagai tukang kayu. Ayah biasanya membuat pintu, jendela dan sebagainya. Pekerjaan yang berat dimana sebelum itu ayah harus mencari kayu di tengah-tengah hutan, dimana banyak sekali risiko tinggi, seperti diterkam binatang buas atau tertimpa pohon. Ayah juga harus membawa pohon yang beratnya ratusan kilo.

Aku berkata pada ayah, ”Yah, bolehkah aku meminta buku baru?” Ayah membalas dengan senyuman sambil berkata, “Akan ayah usahakan. Buku apa yang kau mau?”

”Buku sekolah dan buku tulis, kataku”

”Baiklah nanti ayah belikan, ” kata ayah sambil mengusap pelan kepalaku.

Gaji yang ayah dapatkan itu 100 ribu jika saat memotong pohon dan 50 ribu saat membuat jendela, pintu dan sebagainya. Begitulah hasil yang ayah dapatkan bekerja sebagai tukang kayu. Sedih sebetulnya dengan pekerjaan berat yang hanya mendapatkan hasil sedikit, dimana ayah harus memberi nafkah pada keluargaku yang beranggotakan lima orang, ada aku sebagai anak yang tertua, aku masih mempunyai adik yang bersekolah di jenjang SMP dan SD. Aku sekarang berada di kelas 3 SMA, yang dimana sebentar lagi aku akan berkuliah.

Sebenarnya aku sudah tidak mau berkuliah, karena sebagai anak laki-laki pertama aku merasa memiliki rasa tanggung jawab, dimana suatu saat nanti aku akan menggantikan ayah untuk mencari nafkah keluarga. Namun, ayah menolaknya dengan keras, ayah mau aku tetap melanjutkan kuliah. ”Kau harus melanjutkan kuliah nak, masalah biaya jangan kau risau, ayah akan menanggung semuanya.” Begitulah kata ayah.

 Aku ragu dengan diriku sendiri, aku takut akan menjalankan kuliah ini dengan setengah hati, aku takut mengecewakan ayah. Namun, ayah pernah berkata, ”Ayah tak mau kau menjadi tukang kayu seperti ayah, ayah mau kau sukses. Bukannya ayah tak mau kau membantu ayah, tapi ayah akan lebih sedih kalau seandainya ayah sudah tak ada dan kau tetap menjadi tukang kayu saja, ayah tak mau itu terjadi. Jadi ingatlah, jadilah sukses dan bahagia untuk dirimu jangan untuk orang lain bahkan ayah sekalipun! Saat kau sudah sukses dengan dirimu jangan lupa untuk memberikan juga untuk orang lain. Ayah yakin kau bisa melakukannya!”

Kata-kata yang ayah ucapkan membuat diriku semakin semangat untuk belajar. Tak lama lagi nilai ujian nasionalku akan keluar, yang akan menjadi awal bagiku untuk hidup mandiri.

Seminggu setelah itu hasil ujian nasionalku keluar, hasilnya aku lulus dengan nilai tinggi, menjadi harapan besar bagiku untuk masuk universitas dengan jalur beasiswa. Aku langsung mendaftarkan diri di Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB). Hasil akan diumumkan empat bulan setelah masa pendaftaran. Doa tak pernah putus selama aku menunggu hasil.

Dan saat yang ditunggu, aku lulus! Aku lulus di Universitas Indonesia ( UI ). Keluargaku menangis, ayahku menahan air matanya dan tersenyum bangga padaku. Terbesit juga dalam hatiku senang dan sedih, karena aku akan meninggalkan keluargaku.

Hari yang ditunggu pun tiba, aku akan meninggalkan keluarga, pasti tangisan akan ada, apalagi ibu, tangisan ibulah yang paling keras. Sedangkan ayah hanya tersenyum padaku, lagi-lagi ayah menyembunyikan air matanya dan ayah memberikan buku tulis dan berkata, ”Mungkin inilah hal terakhir yang ayah bisa berikan padamu, ayah harap bisa membantu,” dan ayah langsung memelukku. Aku pun pamit pergi kepada semua keluarga.

Aku belajar dengan giat, tak ada waktu libur bagiku bahkan pada hari minggu saja aku menyempatkan untuk belajar. Namun, ada hari dimana aku sudah hampir menyerah dengan keadaan.

Hari dimana ayah meninggal karena tertimpa pohon. Saat itu pohon tak jatuh ke tanah, hanya nyangkut di pohon sebelahnya, namun naas pohon terjatuh saat ayah ingin menolong kawannya yang tersungkur di tanah. Ayah sempat menyelamatkan kawannya. Namun, ayah tak dapat menyelamatkan dirinya.

 Begitulah cerita yang aku dengar dari ibu, aku tak kuasa menahan tangis. Saat aku berdiam di meja belajarku, aku melihat buku tulis yang diberikan ayah, di dalamnya ada suratyang disisipkan.

 ”Ayah tak mau kau menjadi tukang kayu seperti ayah, ayah mau kau sukses. Bukannya ayah tak mau kau membantu ayah, tapi ayah akan lebih sedih kalau seandainya ayah sudah tak ada dan kau tetap menjadi tukang kayu saja, ayah tak mau itu terjadi. Jadi ingatlah, jadilah sukses dan bahagia untuk dirimu jangan untuk orang lain bahkan ayah sekalipun! Saat kau sudah sukses dengan dirimu jangan lupa untuk memberikan juga untuk orang lain. Ayah yakin kau bisa melakukannya!”

 Tulisan ini membuatku kembali semangat, menyerah tak akan membuahkan hasil.

Saat ini aku sudah berada di kursi bersamaan dengan para wisudawan. Semua keluargaku hadir, kecuali ayah. Aku berharap ayah datang, aku berharap ayah hadir di sini bersamaku, aku berharap ayah melihat aku lulus. Aku tau ayah melihatku dari sana, dan aku rindu padanya. Semoga ayah tenang di sana.

Aku lulus dengan predikat Cumlaude, sesuatu yang sebelumnya bahkan tak bisa aku bayangkan.

Akhirnya, aku lulus, yah.

Editor: Fathiah Salsabila

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *