Penyesalan

Oleh: Rama Maha Putra

Aku berlari menuju bus yang sebentar lagi akan berangkat ke tujuan selanjutnya. “Huh, untung pas banget,” kataku pelan sambil terengah-engah. Aku pun duduk di kursi ketiga dari belakang sopir. Saat aku masuk, bus masih sepi, hanya ada aku dan satu penumpang yang duduk tepat di belakangku.

Sepanjang perjalanan, mataku tak henti-hentinya menatap jalanan yang dipadati oleh pengendara lain, mencoba mengalihkan pikiran dari rasa gundah di hatiku. Tiba-tiba, aku tersadar bahwa bus telah dipenuhi oleh banyak orang. Di depan mataku, seorang pria paruh baya berdiri, mengenakan setelan jas rapi dan memegang tongkat. Wajahnya penuh garis-garis usia yang penuh cerita. Aku mempersilakannya duduk. “Pak, silakan duduk di tempat saya saja,” kataku dengan suara serak. Beliau tersenyum lembut dan duduk. “Terima kasih, Dik,” ujarnya. “Sama-sama,” jawabku dengan senyum getir.

Hari ini, aku hendak pergi mengunjungi makam ibuku di pemakaman umum. Ibuku meninggal setahun yang lalu. Setiap hari Minggu, aku selalu mengunjunginya untuk menceritakan segala hal yang terjadi dalam hidupku. Meskipun tak ada jawaban, aku selalu berharap ibuku mendengarnya dari alam sana.

Aku selalu dikenal sebagai anak yang sangat penurut dengan orang tua, terutama dengan ibuku. Namun, ironisnya, aku jarang sekali bercerita dengannya saat beliau masih hidup.

Setelah lulus dari SMA, aku pergi kuliah ke luar kota. Saat di bandara, kami meluangkan sisa waktu bersama sebelum berpisah. Tak banyak yang kami bicarakan. Ibuku hanya berpesan untuk selalu menjaga kesehatan, jangan lupa salat, dan rajin belajar. Kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Ketika saatnya tiba untuk check-in, kami harus berpisah. Aku merasa gengsi untuk memeluk ibuku. Dengan berat hati, aku hanya menyalaminya dan melambaikan tangan, meninggalkan bayangan wajahnya yang penuh harap di belakangku.

Seminggu kemudian, dunia seakan runtuh saat abangku memberi kabar bahwa ibu sudah tiada. Ketika membaca pesan itu, tubuhku terasa kaku. Air mata mengalir deras di pelipisku, dadaku terasa sesak seperti dihimpit batu besar. Rasa penyesalan menusuk dalam, menyesali setiap detik yang telah berlalu tanpa memeluk ibuku untuk terakhir kalinya.

Sejak saat itu, rasa penyesalan tak pernah berhenti menghantuiku. Aku sadar, aku tak akan pernah merasakan lagi pelukan hangat seorang ibu yang selalu menenangkan hati.

Bus pun berhenti di tempat pemberhentian yang kutuju. Jarak antara pemakaman dengan halte tidak terlalu jauh. Dengan langkah berat, aku pun tiba di makam ibuku. Di sana, aku mulai bercerita tentang kegiatan selama seminggu terakhir ini. Meskipun tampak seperti orang yang kurang waras, berbicara sendiri di tengah keheningan makam, aku yakin ibuku mendengarnya dari alam sana. Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa seperti pengakuan yang terlambat, namun aku berharap dapat sedikit mengobati rasa rinduku yang tak terperi.

Editor: Fathiah Salsabila

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *