Oleh: Ramadhani Nur Habibah
Aku menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa bahkan bisa dibilang sangat biasa, sebagaimana seorang mahasiswa yang menjalankan kegiatan sehari-harinya. Hari-hariku penuh dengan kegiatan di rumah, terkecuali jika hari itu ada perkuliahan. Aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah dibandingkan harus berkegiatan di luar sana. Menghabisan waktu untuk mengulang pelajaran yang ada di perkuliahan, setoran hafalan Quran online, dan melanjutkan tugas membuat novel yang kini tengah aku geluti, terkadang aku juga mengikuti kajian.
Kini telah memasuki libur perkuliahan, tiga bulan lamanya membuat aku sedikit jenuh dengan kegiatan keseharianku yang aku lakukan itu-itu saja.
Siang itu aku terbaring santai di atas kasurku ditemani dengan boneka kesayanganku. Sudah seminggu lebih, notifikasi itu tak terdengar lagi di telingaku, bahkan setiap harinya aku selalu mengirimi pesan untuknya, namun tetap saja, tak ada balasan dari seberang sana.
Kemana perginya ia?
Mengapa sekarang ia sangat jarang mengirimiku notifikasi penyemangat?
Ah, aku sedikit khawatir tentang dirinya.
Tidak biasanya dia seperti ini, walaupun dirinya sibuk di tengah perkuliahannya, dia akan tetap mengirimiku pesan, walaupun hanya serangkai ucapan menyapa.
Aku rasa, aku dan dia cukup dekat. Kedekatan kami berawal dari kami di pondok kala itu, tak ingat betul kapan pertama kali kami bisa menjadi sedekat ini.
Sebetulnya aku hanya ingin bercerita tentang sahabatku ini. Selain restu dan rida kedua orang tua, dialah yang menjadi salah satu pemeran penting saat aku ingin memutuskan untuk berkuliah ke luar negeri.
Aku melirik ke atas meja belajar yang berada di dekat kasurku, disana terdapat benda pipih yang kini menjadi pusat perhatianku. Notifikasi favorit yang selalu aku dengar dari benda pipih itu sudah mulai redup seperti lilin yang sudah habis masanya.
Aku mengeluarkan nafas berat. Pikiranku kacau tak terarah, mungkinkah dirinya telah melupakan aku? Atau sudah tidak ingat sama sekali?
Aku menepis pikiran buruk itu jauh-jauh.
Aku tidak boleh terlalu berprasangka buruk tentang dirinya.
Aku mengingat-ingat perkataan yang ia ucapkan kala itu, disaat pertemuan kami untuk terakhir kalinya sebelum kami berpisah.
“Kenapa harus mencari teman yang setara?”
Agar bicaramu tidak dianggap sombong, impianmu tidak disepelekan, keluhanmu tidak dianggap berlebihan, dan pencapaianmu tidak membuatnya terbakar, justru bahagiamu menjadi bahagia juga untuknya.
Seketika aku tersenyum, betapa bersyukurnya aku kepada Tuhan, dipertemukan manusia yang aku sebut sahabat, yang tidak sedarah namun searah, yang menjadi peneduh di kala derita tumbuh, yang sama-sama berlari dalam perjuangan, yang saling memberi semangat walau hidup masing-masing berat.
Mungkin saat ini, ia hanya terlalu sibuk dalam pencapaian masa depannya , hingga disaat pencapaian sahabatku itu tercapai, aku akan yang akan menjadi manusia pertama yang akan berucap, “Terimakasih sudah hadir kembali dengan membawa masa depan yang indah teman.”
Editor: Fathiah Salsabila