Oleh: Muharamah Aisyah
Badaiku datang tanpa diundang
Lukaku ditendang tanpa dipandang
Sukmaku disayat tanpa dipahat
Apa maksud tuhan?
Untuk apa?
Mana batas kemenangannya itu?
Siapa yang bernasib sama? Hilang sudahlah
Hampir saja imanku di bawa ambingan laut
Langit cerahku direbut malam tanpa rembulan
pundakku telah musnah sebelah tanpa celah, hanya satu sisa pengharapan
Aku pun ingin musnah, musnah dari tanah yang penuh dosa ini
Tak ada alasanku menyeduh asap kopi tanpa gula itu
Membelenggu, sumpah serapah
kepada jiwa hilang akal ini
Kini menjadi seduhan pahit berulang yang ku sukai
Muak rasanya
Musnah, musnah adalah sisa pengharapanku
Ketika mencoba berlari menjauh
Secepat kilat tali tambang yang kuat itu menarik
bendungan jiwa yang penuh amarah, sesal, kecewa
Dalam, kini terlalu dalam
Sesak yang indah, gelap kesukaanku
Kakiku dirantai ditarik lebih dalam ke dalam laut gelap memekak
Apa ini?
Kenapa hangat sekali rasanya, tak pernah ku merasakannya
Suara gemerisik halus, memaksa cahaya masuk
Kubiarkan jiwaku meresapinya
Surai lantun tiba tiba berbisik santun, “Terkadang karena kita seseorang bertahan hidup, dan
kamulah alasan seseorang itu bertahan dengan badainya”
Aneh, aku bukan pengidap surai lantun, tapi lantun lembut ini begitu hangat
Rantaiku seketika pecah menjadi buliran cahaya bertembangan indah
Kali ini musnah, musnah sudah keinginan musnahku itu
Tuhan masih inginkanku menghirup hasil tanganNya
Surai lantun datang demi pecahkan musnahku
Editor: Fathiah Salsabila