Kebahagiaan yang Tertunda

Oleh: Fikih Azali

Suasana hening. Dalam sebuah kamar apartemen berukuran 2×3, bersama tumpukan kitab-kitab, aku menanti tengah malam tiba. Aku membolak-balik sebuah kitab tanpa membacanya sama sekali. Aku memperhatikan dinding bercat abu-abu semakin hari tampak semakin kusam. Seperti hatiku yang kini tenggelam terhanyut beragam masalah. Sesekali aku meneguk kopi hitam dari gelas rapuh peninggalan pemilik apartemen sebelumnya. Aku mengenal diriku bukan sebagai penikmat kopi. Namun, entah apa yang menuntun pikiranku hingga aku menjerang air, meracik gula dan kopi hitam khas turki. 

Aku tak sadar sudah berapa lama aku melakukan hal konyol itu. Membolak-balik kitab, dari satu halaman ke halaman berikutnya, tetapi tak satu pun kata kubaca. Karena malam hampir mencapai puncaknya, jangkrik-jangkrik mulai berkeliaran. Berteriak-teriak, meramaikan malam. Tak ada rasa kantuk. Kedua mataku terbuka menyala, seperti bulan yang sedang menggelantung menunggu fajar tiba. Lalu, ia pun menghilang bersama cahayanya.

Semuanya berawal dari sebuah surat yang dikirimkan ke alamat apartemenku. Tak biasa aku mendapat kiriman surat. Dengan penuh penasaran, kubuka surat itu dan melihat nama paman bertengger di bagian kanan surat. Justru karena tak biasa dikirimi surat itulah, rasa penasaranku berubah menjadi kekhawatiran. Aku mulai membuka lipatannya sembari mengumpulkan keberanian sebanyak-banyaknya, dan sebuah pukulan menyakitkan menghantam hatiku. Pertanyaan-pertanyaan berjibun memasuki kepalaku. Kenapa? Bagaimana bisa terjadi? Selembar surat itu merobek-robek ragaku, hatiku, dan menghancurkan masa depanku. Teleponku berbunyi.

“Ali?” suara paman terdengar berat. Aku tak mau menjawabnya.

Kudengar paman menarik nafas. Mungkin ia juga merasakan betapa terpukulnya hatiku mengetahui isi surat yang dikirimnya. Sekali lagi, aku tak peduli. Aku mengabaikan suaranya yang berulang kali menyebut-nyebut namaku. Amarah di dadaku terus memuncak. 

“Ali…. bicaralah dengan pamanmu ini,” lagi-lagi aku membuatnya menyerah.

Ya, dan benar. Dia mematikan telepon, tapi api di dadaku tidak juga padam. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk ke nomorku, dari paman. Aku terkekeh sendiri melihat kegigihannya meluluhkan sikapku. Demikianlah aku menghadapi kenyataan yang tak bisa kupungkiri. Aku tak mempersoalkan lagi apakah aku lemah atau kuat, yang tumbuh dalam pikiranku saat ini adalah bagaimana cara keluar dari dunia.

Sejak dini, aku sudah membaca kenyataan itu, aku sudah meyakinkan diriku jika firasat-firasat buruk itu akan terjadi. Aku juga tak mempersoalkan ayah yang dijebloskan ke dalam penjara karena membunuh sopir pribadinya yang berselingkuh dengan ibu, atau menyalahkan ibu yang begitu tega bermesraan di belakang ayah. Aku tak bisa menentukan siapa yang salah dan benar di antara mereka. Mungkin yang salah adalah aku yang terlahir dari dua manusia yang tidak benar-benar mengharapkan kehadiranku dalam kehidupan mereka.

***

Ali Bahrain adalah nama yang diberikan mereka padaku. Jika kebanyakan anak-anak diasuh langsung oleh orang tua mereka, maka berbeda halnya denganku. Aku menghabiskan masa kanak-kanak di rumah pamanku. Tak heran jika aku lebih menyukai paman dibanding ayah kandungku sendiri. Sesekali, tapi sangat jarang, ibu menjenguk dan memastikan aku tak kekurangan suatu apapun. Dia benar, aku hanya kurang kasih sayang, kurang perhatian. Ayah bekerja sebagai data analis di Danareksa Research, sementara ibu bekerja sebagai direktur PT. Atambua di pusat kota.

Pagi-pagi sekali mereka berangkat dan baru tiba di rumah larut malam. Tak ada kehangatan yang terjalin di antara keluarga kami. Bahkan, rumah besar yang mereka bangun seperti pemakaman kuno, berabad-abad tak pernah disentuh. Kehidupanku yang seperti ini membuatku tumbuh dalam ketakutan. Sikap lembut yang selalu ditunjukkan paman tak terasa, tidak sama sekali mampu menjangkau sanubari. Semuanya kelam, sia-sia. 

***

Siang yang begitu panas. Seseorang mengetuk pintu apartemenku dengan ketukan yang tak asing di telingaku. Jauh hari aku telah menebak kalau paman akan mendatangiku. Aku membukakan pintu, menyambutnya dengan wajah kusut. Semangat hidup telah lama lari dari pikiranku. Paman mengerti betul kepribadianku. Terutama saat sedang marah, dia akan diam menunggu aku mau bicara. Lima belas menit sudah ia memasuki kamar kecilku, tak ada sepatah kata pun yang kuucapkan menyambut kedatangannya.

“Bagaimana kuliahmu?” paman berbasa-basi. 

Aku mendengus, mengisyaratkan bahwa aku sedang tidak ingin bicara. Lalu dia pun diam. Mengorek-orek rak bukuku. Mengambil sebuah novel Tentang Kamu karya Tere Liye. Rak bukuku memang dipenuhi novel karya pengarang klasik. Biasanya, aku menghabiskan hariku di dalam kamar, melumat satu atau dua novel seharian. Aku mengalah begitu melihat paman mulai bosan dalam bacaannya.

“Paman boleh bicara sekarang,” kataku.

“Aku turut bersedih atas apa yang kau alami. Ayah dan juga ibumu menelantarkanmu begitu saja,”

“Kenapa tak langsung mengatakan apa yang sebenarnya terjadi?” gerutuku agak kesal. Aku merapatkan tubuhku ke dinding. Sedangkan paman tampak serba salah. 

“Baiklah. Mari kita mulai dari ibumu. Meski tidak berwajah cantik, tapi karirnya yang bagus membuat beberapa orang tertarik padanya. Salah satunya adalah sopir pribadi ayahmu. Kau tahu kan kalau ibu dan ayahmu jarang jalan bersama. Bahkan tak pernah sama sekali. Mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Belakangan, ibumu dan selingkuhannya sering keluar. Mereka diam-diam. Hampir dua tahun ibumu selingkuh. Ayahmu baru tahu dua minggu yang lalu. Emosinya memuncak hingga melewati batas ubun-ubun,” paman berhenti.

“Lalu, ayah marah dan membunuh sopir pribadinya itu. Aku tak heran jika ayah tanpa hati melakukan demikian.” Aku menyimpulkan. Lagi-lagi paman kehabisan kata-kata. 

“Paman?” kataku setengah terbata-bata.

“Ya, bicaralah.”

“Terkadang aku tidak yakin apakah aku mampu bertahan. Di satu waktu, aku merasa berada di antara hidup dan mati. Tak peduli jika paman menganggap ini dramatis. Namun, aku sudah lama rapuh. Tahun-tahun berlalu, musim berganti, dan hidupku tetap saja rapuh.” Tak sadar mataku mulai basah.

“Hidup memang menantang. Tapi, kau harus tetap berjuang. Untuk masa depanmu.” Paman mencoba menguatkanku.

“Paman! Aku tak sanggup terus berpura-pura terlihat kuat. Kau yang paling tahu diriku. Lihat, duniaku hanya seluas kamar ini. Tak lebih. Bahkan, aku tak berani memasuki dunia orang lain, aku hidup dalam duniaku sendiri. Hanya di kamar ini.” 

Paman menunduk. Matanya tertuju pada sampul novel Tentang Kamu. Apapun yang kini dipikirkannya tak lagi masalah untukku. Aku tahu dia begitu baik. Jika boleh memilih, aku akan memilihnya sebagai ayah bagiku. Kenyataannya, inilah dunia. Manusia tak bisa berbuat sesuai kehendaknya, semaunya sendiri. Termasuk menentukan dari rahim siapa seorang manusia itu dilahirkan. 

Gemuruh pesawat terdengar melintas di atas apartemen. Sejenak menciptakan keributan dalam pikiran masing-masing di antara kebisuan kami. Masih banyak keraguan yang bersemayam dalam kepalaku. Namun aku memilih menguburnya, sebab orang sebaik paman tak layak menampung hujatan keras dari seorang aneh sepertiku. 

Azan Asar menggema dari masjid yang terletak beberapa meter dari apartemenku. Mendengar itu, paman seketika mengangkat wajahnya. Memandangku penuh iba yang kubaca melalui garis matanya. Tiba-tiba pula ia menarik tanganku. Membantuku berdiri dan mengajakku bergerak menuju masjid.

Angin sore hari langsung menampar wajahku. Ada sebuah kedamaian menerobos pori-pori, dan menjalar menjamah hati kecilku. Secara tidak sadar, paman mengingatkanku akan adanya Tuhan pengatur kehidupan. Sang Pencipta dengan segala kekuasaan-Nya. Sebuah kekuatan menuntunku untuk melangkah secepatnya. Tangan malaikat melambai dengan senyum ramah mengetuk ulu hatiku. Beberapa menit berikutnya, aku terhanyut dalam ritual yang telah kulupakan. Gerakan-gerakan yang pernah diajarkan paman pada saat kanak-kanak kini sedang kulakukan.

***

Paman telah pulang. Lagi-lagi aku bermeditasi dalam duniaku, di kamarku. Aku menatap dinding kelabu, menggambarkan jalan kehidupanku. Nasihat-nasihat paman membayangi pikiranku, mengikuti setiap langkahku. Di dalam kamar berukuran 2×3 ini, aku menimang-nimang rasa benci yang telah mendaging dalam tubuhku, kepada orang tuaku. Kadang-kadang aku ingin menghapusnya dari memoriku dan kadang-kadang aku malah ingin mengikatnya lebih kuat. 

Pikiranku saling bertabrakan. Berbenturan antara memaafkan atau terus membenci. Kebingungan menguasai diriku. Kemudian aku membuka pintu balkon dan duduk. Warna malam memperlihatkan kegelapannya. Cahaya bintang hilang-timbul berkedip-kedip meramaikan langit. Aku berbicara pada malam, tentang hidupku.

“Kau bisa gila berlarut-larut dalam kesedihan.” Malam berdiri penuh sinis di depanku.

“Otakku buntu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.” 

“Hidupmu memang menyebalkan. Kau terlahir dari dua manusia yang tak berguna, manusia yang tak ingin kau hidup untuk mereka.”

“Aku tak pernah ragu hal itu.”

“Lalu kenapa kau tak mati saja?” Malam semakin ganas. Membunuhku dengan pertanyaannya.

Aku menunduk bingung. Bingung dengan diri dan duniaku sendiri. Spontan aku berdiri. Menutup pintu dengan kencang sehingga menimbulkan hentakan keras. Terdengar sampai ke flat-flat lain. Meninggalkan malam dengan segala kegelapannya. Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Kenangan masa lalu terus menguntit di belakangku.

Sudah bertahun-tahun aku tak merasa tenang menjadi diriku sendiri. Ketika mengingat keluarga yang tak mengharapkan kehadiranku, mengabaikanku, ketika itu pula rasa sakit semakin menusuk ke dalam jantungku.

Sayangnya, aku telah ditakdirkan dalam kehidupan aneh seperti ini, dalam kesialan yang tidak aku inginkan. 

***

Aku bangun pagi-pagi sekali. Kubuka pintu, dan ternyata malam telah pamit. Sementara, udara pagi menawarkan ketenangan untuk jiwa-jiwa yang hampir saja mati, aku menyerahkan seluruh pikiranku dibaca olehnya. Aku berjalan menuju sebuah bangku panjang tempat biasa aku menghabiskan waktu, sendirian.

Capung dengan beragam warna berkerumun. Tawa anak-anak sekitar komplek perumahan terasa ceria menyambut minggu pagi. Dari kejauhan, kulihat salah seorang warga sedang menyalakan motornya. Ia mengenakan setelan training. Aku menangkap ada kebahagiaan di antara senyumnya.

Lalu, teleponku kembali bergetar dan nama paman muncul di layarnya. 

“Kau baik-baik saja, Ali?” Suara paman seperti hujan membawa kesejukan. Aku beredeham sebagai jawaban.

“Minggu depan, aku akan berkunjung lagi ke kosmu. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, dan ini sangatlah penting.”

Aku mengangguk. Paman menutup telepon. Aku merasa duniaku terbuka lebar. Satu per satu luka yang mendekam terkikis oleh kesejukan-kesejukan yang diberikan paman. Meskipun aku tahu, semua dia lakukan hanya agar aku tak berbuat keterlaluan, contohnya mengakhiri hidupku. 

Lahir dari orang tua kaya tidak selalu menjanjikan. Sebagaimana halnya aku, sejak kecil, tak pernah mendapatkan kehangatan orang tua. Membuat jalan hidupku berbalut kekurangan. Tak ada pelukan ketika berkumpul di dalam rumah. Tak ada ciuman ketika hendak berangkat sekolah. Tak ada dongeng atau cerita-cerita pengantar tidur. Apalagi panggilan sayang, menjadi hal mustahil kudapatkan dari orang tuaku. Ketika umurku belum genap tiga tahun, aku telah diusir dari rumahku. Besar dalam pelukan pamanku.

***

Paman tiba di kos sebelum matahari benar-benar siap menguraikan cahayanya. Jika kedatangannya minggu lalu tak memperoleh sambutan hangat, maka kali ini kudekap dia dengan segala kerinduan. Dia terkejut mendapati perubahan sikapku.

Namun memilih menyimpannya untuk ditanya nanti-nanti.

Paman menyuruhku bersiap-siap. Minggu pagi ini, kami akan berangkat menuju alun-alun kota. Pilihan yang tepat untuk menghilangkan kepenatan selama bertahun-tahun mengurung diri dalam dunia kecilku. Ketika kami sampai di sana, aku seperti menemukan kebebasan yang selama ini tak pernah kurasakan.

Beringin kembar berdiri gagah saling bersahutan. Burung gereja saling berkejaran mengitari langit alun-alun kota. Matahari terus mengintip, semakin memperjelas dirinya melalui cahaya yang kian menyala. Saat aku mencoba beradaptasi dengan dunia yang lebih luas, saat itu pula paman mengutarakan maksud kedatangannya. Aku serius mendengarkan.

“Aku sadar kau bukan darah dagingku, tapi mulai dari sekarang, panggil aku ayahmu. Kuharap, dengan demikian kau bisa hidup sebagaimana hidupnya manusia. Mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang tua mereka, dan kau tak lagi hidup di dunia kecilmu,” jelasnya.

Aku terdiam, kulirik sekeliling seketika berubah lengang. Di ujung barat alun-alun, kulihat bayanganku berwarna hitam, dunia kecilku, beringsut pergi semakin jauh. Saking jauhnya, mataku hanya menangkap titik-titik hitam. Begitu samar-samar. Matahari tersenyum. Sinarnya membawa kehangatan. Meskipun aku tahu ini tidaklah abadi, tapi aku merasa cukup senang, sebab kini matahari telah mendekapku.

Editor: Fathiah Salsabila

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *