Oleh: Fayiz Bihatta
Di sebuah desa kecil yang damai, ada seorang perempuan tua bernama Bu Narti. Ia
adalah sosok yang sederhana, tapi selalu penuh semangat dalam menjalani hari-harinya.
Setiap pagi, Bu Narti akan bangun lebih awal untuk menyapu halaman rumahnya yang luas
dan menyiram tanaman di kebunnya. Kebunnya tak seberapa besar, hanya berisi beberapa
tanaman bunga dan sayuran, namun bagi Bu Narti, kebun itu adalah dunianya.
Suatu hari, ketika sedang menyiram bunga, ia melihat seorang anak laki-laki bernama Ali
yang duduk termenung di pinggir jalan. Ali adalah seorang anak yang rajin, tetapi belakangan
ini ia sering terlihat murung. Bu Narti mendekatinya dengan senyum hangat.
“Ali, kenapa kamu terlihat sedih?” tanya Bu Narti lembut.
Ali menghela napas panjang. “Aku kehilangan kucing kesayanganku, Bu. Aku mencarinya
ke mana-mana tapi tak ketemu.”
Bu Narti duduk di sebelah Ali dan menepuk pundaknya. “Kehilangan memang menyakitkan,
Nak. Tapi, dalam setiap kehilangan, selalu ada pelajaran yang bisa kita ambil. Seperti bunga-bunga ini, mereka tumbuh dan mekar meski terkadang harus menghadapi hujan dan angin
kencang.”Ali mengangguk pelan, mencoba mengerti maksud Bu Narti.
Selain kehilangan kucingnya, Ali sebenarnya juga sedang memikirkan pertengkarannya
dengan sahabatnya, Budi. Mereka bertengkar hebat kemarin karena hal sepele, dan sekarang
Ali merasa sangat menyesal. Ia ingin berdamai dan meminta maaf, tetapi gengsi membuatnya
sulit untuk melakukannya.
Di desa itu, Bu Narti dikenal sebagai sosok yang suka membantu. Meski usianya sudah tak
muda lagi, ia selalu ringan tangan menolong tetangga. Ia sering membawakan sayuran hasil
kebunnya untuk tetangga yang membutuhkan, atau sekadar memberikan senyuman dan
sapaan hangat kepada setiap orang yang ditemuinya.
Pada suatu sore, ketika Bu Narti sedang berjalan-jalan di tepi sungai, ia melihat seorang ibu
muda yang kesulitan membawa ember berisi air. Tanpa pikir panjang, Bu Narti segera
menghampiri dan menawarkan bantuan.
“Izinkan saya membantu, Bu,” katanya sambil mengambil ember dari tangan ibu muda itu.
Ibu muda itu tersenyum lelah tapi berterima kasih. “Terima kasih banyak, Bu Narti. Anda
selalu baik.” Bu Narti hanya tersenyum. Baginya, membantu orang lain adalah kebahagiaan tersendiri.
Keesokan harinya, ketika Ali sedang berjalan ke sekolah, ia melihat Bu Narti sedang
menyapu halaman. Ia berhenti sejenak dan memperhatikan bagaimana Bu Narti melakukan
setiap pekerjaan dengan penuh cinta dan ketelitian.
“Bu Narti, kenapa Ibu selalu melakukan hal-hal kecil seperti ini?” tanya Ali penasaran.
Bu Narti tersenyum dan berkata, “Ali, hal-hal kecil seperti ini mungkin terlihat remeh, tapi
mereka membawa kebahagiaan yang besar. Menyapu halaman, menyiram tanaman,
membantu tetangga, semua itu adalah cara kita menunjukkan kasih sayang dan kepedulian.
Hal-hal kecil itulah yang membuat hidup kita lebih bermakna.”
Ali merenungkan kata-kata Bu Narti. Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil di
sekitarnya. Ia mulai membantu ibunya di rumah, menyapa teman-temannya dengan ramah,
dan menjaga kebersihan lingkungannya.
Namun, satu hal masih mengganjal di hatinya. Pertengkarannya dengan Budi terus
menghantui pikirannya. Mengingat nasihat Bu Narti tentang pentingnya kebaikan kecil, Ali
akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Budi di sekolah.
“Budi, aku minta maaf atas apa yang terjadi kemarin. Aku salah,” kata Ali dengan tulus,
meskipun hatinya berdebar kencang. Budi menatap Ali sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan berkata, “Aku juga minta maaf, Ali. Kita teman, bukan? Jangan biarkan hal sepele merusak persahabatan kita.”
Kehidupan di desa itu pun menjadi lebih harmonis dan penuh kebaikan, berkat keteladanan
seorang perempuan tua yang tak pernah menganggap remeh kebaikan sekecil apapun.
Editor: Fathiah Salsabila