Di Pojok Kamar, Sendiri

Oleh: Faisal Arif Rahmadri

Hari ini aku mengerti bagaimana sebuah pertemuan mengajarkan untuk mengakhiri, layaknya dua orang sedang jatuh cinta yang tak direstui waktu, perpisahan pasti akan terjadi. Tapi, kita bisa memilih bagaimana cara kita untuk berpisah. 

Ah, sudahlah itu semua sudah masa lalu, mari kuceritakan sedikit cerita tentang diriku.

Lahir di sebuah keluarga sederhana yang tidak berkekurangan, membuat diriku menjadi pribadi yang cukup baik, namun selama ini aku ingin setidaknya menjelajahi dunia baru yang hanya bisa aku baca di buku dan kulihat di layar kaca. Impian dan masa depan yang tak kuketahui menambah rasa penasaran. Sampai akhirnya, pikiran yang saat itu seputar indahnya imajinasi tiba-tiba pupus saat diriku menginjak usia dewasa, aku tak tahu rupanya dewasa itu sesulit ini, kehidupanku dulu lancar-lancar saja sampai sebelum aku merantau.

Kini aku termenung di ujung kamar membaca buku, di dalamnya ada berbagai surat yang diterima penulis, salah satunya tentang kutipan, “Waktu memang tak selamanya indah dan berwarna dan hidup tak selamanya jadi milik kita, tapi dua hal ini yang sepenuhnya membuat kita menjadi manusia. Kita tak bisa memilih ingin menjadi apa, takdirlah yang mengarahkan kita merasakan apa itu kehidupan. Takdir dan waktu juga yang memberi kita kebahagiaan, takdir juga yang membuat kita mengakhiri kehidupan. Tapi bagaimana cara kita menyikapi suatu hal? Itu sudah di luar hidup entah itu takdir maupun waktu.”

Ah, inilah yang kucari selama ini. Mungkin perkataannya sedikit ambigu, tapi untuk diriku yang butuh sedikit kata penghibur, kata-kata itu sangat berarti. Kubalik kertas selanjutnya untuk melihat apakah ada kalimat lain yang relate dengan hidupku kini. Sampai akhirnya tersisa sepuluh lembar kertas yang sudah kuning dan agak kusut, aku memicingkan mata. Kenapa kertas ini berbeda sendiri, di halaman itu kata-katanya berisi lanjutan dari surat yang kubaca sebelumnya.

“Kebahagiaan tak selalu sempurna, kebahagiaan tak melulu tentang materi. Kebahagiaan bukan hal yang perlu kita ketahui tapi perlu kita nikmati, segalanya indah pada waktunya, termasuk perpisahan dua orang yang sedang jatuh cinta. Memang saat itu hati terluka dan hidup terasa hampa, tapi lambat laun waktu yang akan menyembuhkan. Mungkin satu minggu, satu bulan, atau bisa jadi sepuluh tahun, karena tak ada yang mengetahui hati seorang manusia.”

Aku pun tertawa dalam hati, sepertinya ini ditujukan untuk diriku. Bagaimana bisa aku yang bukan siapa-siapa ini sangat depresi memikirkan masa depan yang belum terjadi. Kata-kata dalam buku ini seakan mencambuk seorang anak yang baru merasakan kehidupan dewasanya. Menghidupkan sebuah perjalanan, kalau aku gagal meraih tujuan tertentu, bukan berarti hidup ini tidak berguna, bisa saja esok hari atau tempat yang kukunjungi besok, disitu ada keberuntunganku.

Editor: Fathiah Salsabila

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *