Mendefinisikan kata masisir merupakan langkah awal dalam membaca tulisan ini, sebenarnya tak sulit menemukan definisi sederhananya, yang mana ia juga merupakan akronim dari Mahasiswa Indonesia di Mesir, dan secara tidak langsung telah memberikan paham yang sempurna bahwa siapa saja yang termasuk ke dalam golongan ini merupakan orang-orang yang berangkat dari tanah air berharap ilmu dan gelar tentunya.
Namun dewasa ini sebenarnya kita sudah mengetahui banyak sekali dilema dalam dunia mahasiswa luar negeri, baik tersirat maupun tersurat, baik isu mahasiswa itu sendiri maupun isu politik antar mahasiswa serta berbagai masalah-masalah yang pada umumnya adalah suatu hal yang biasa saja. Karena pada dasarnya apa pun masalah yang menimpa individu dan kelompok pasti selesai kemudian perlahan terlupakan dan tinggal cerita saja.
Kembali kepada pembahasan definisi, jika masisir hanya diartikan sebagai mahasiswa yang belajar maka ini sedikit tidak adil, karena ada banyak sekali masisir yang bertekad datang ke negeri para nabi ini untuk belajar sekaligus menghidupi diri mereka sendiri selama berada di perantauan. Tidak mudah sebenarnya jika menjadi mahasiswa yang dituntut untuk belajar dan dalam satu waktu harus memikirkan tentang besok akan makan apa. Jika mendefinisikan masisir dengan mahasiswa yang belajar dan dapat bertahan hidup sampai proses studi selesai maka ini sangat tidak adil, karena banyak sekali di antara mereka yang hanya bertahan hidup dan tidak belajar, dengan kata lain proses studi tidak dijalankan dengan sempurna. Juga sangat tidak adil lagi ternyata di antara mereka ada yang tidak perlu bertahan hidup dan proses belajar juga tidak memuaskan, jangan tanya hasil!
Penulis tidak ingin menyebutkan berbagai anasir mahasiswa Indonesia di Mesir ini lebih banyak lagi, karena semakin banyak bagian maka akan semakin sulit memberikan definisi yang konkret. Tulisan ini dibuat sengaja untuk menjadi cambuk bagi penulis ke depannya, karena berbagai fenomena buruk serta dilema yang terjadi pada sebagian besar masisir adalah penulis termasuk bagian yang ada di dalamnya. Tulisan ini dibuat karena termotivasi dari berbagai kejadian yang ada belakangan ini dan ternyata selalu terjadi setiap tahun.
Ujian semester atau disebut dengan ujian termin merupakan agenda tahunan yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang terdaftar di Universitas Al-Azhar, tidak beda dari mahasiswa pada umumnya di seluruh belahan dunia, ujian merupakan hal yang niscaya dan tidak bisa ditawar, setiap mahasiswa akan diberikan ujian dalam berbagai bentuk untuk membuktikan apakah selama satu termin ia sudah melakukan yang terbaik untuk studinya. Perihal inilah yang mengilhami penulisan ini.
Sebagai warga negara Indonesia, pemerintah menetapkan bahwa setiap orang wajib belajar selama 12 tahun, itu artinya mulai dari jenjang sekolah dasar hingga menyelesaikan pendidikan menengah atas. Namun, dilema yang terjadi adalah seseorang tidak akan dapat memperoleh berbagai kemudahan dalam dunia pekerjaan jika ia tidak menyelesaikan strata 1-nya, hal inilah yang mendasari generasi muda untuk berkuliah dan mendapatkan gelar agar nanti mulus jalannya dalam menempuh hidup yang lebih baik. Jika kita menilik pada mahasiswa yang ada di Indonesia maka kita akan mendapati fakta bahwa pada tahun 2019 saja 40% mahasiswa Indonesia mengalami stres, tentu ini bukan hal yang penulis karang semata, kita dapat menemukan data ini di situs kemenkes.
Banyak sekali hal yang menyebabkan seorang mahasiswa tertekan, mulai dari tugas yang menumpuk setiap harinya hingga skripsi yang harus ditulis sebagai persyaratan untuk dapat lulus dari universitas, belum lagi tuntutan sosial serta life style yang sangat cepat sekali berubah menyebabkan permasalahan dalam ruang lingkup mahasiwa terlihat semakin kompleks dan tentunya sangat menyebalkan. Maka bagaimana dengan kehidupan masisir?
Jika kita bertanya pada seluruh mahasiswa abroad tentang kesulitan mereka selama belajar di luar negeri, maka jawaban yang selalu terucap adalah tidak mudah hidup di negeri orang dengan perbedaan budaya, makanan , cara hidup dan lain-lain. Tentunya ini merupakan hal yang niscaya dan selalu jadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa luar negeri seperti masisir, dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan auto kritik kepada masisir dan khususnya diri saya sendiri tentang sistem yang sering kita kenal dengan nama Sistem Kebut Semalam.
Berbeda dengan mahasiswa Indonesia pada umumnya, Al-Azhar memberikan kebebasan terhadap sistem belajar yang ingin ditempuh oleh mahasiswanya, tentunya Al-Azhar dengan pasti menunaikan kewajibannya sebagai universitas dengan menghadirkan pembelajaran dalam kelas sebagaimana biasanya. Namun mahasiswanya bebas memilih akan menghadiri pembelajaran atau ingin menimba ilmu dari tempat lain kepada para guru dan syekh yang tak diragukan ilmunya.
Tetapi sepertinya fenomena serta dilema itu terselip disini, mahasiswa yang seharusnya diuntungkan dengan betapa tidak terikatnya sistem universitas justru menyalahgunakan kesempatan ini, mulai dari bersantai-santai serta melakukan hal-hal yang sangat tidak mencerminkan masisir sebagai duta Al-Azhar yang seharusnya dapat membawa sesamanya ke arah yang lebih baik, sikap-sikap menyeleweng seperti inilah yang menyebabkan sulitnya menemukan definisi masisir yang sebenarnya, kecuali para pembaca sepakat jika mereka yang tidak bertahan hidup dan tidak pula menyempurnakan studi tidak dapat kita sebut sebagai masisir atau yang lebih frontal kita dapat menyebutnya bahwa mereka tidak pantas disebut masisir.
Buah busuk dari penyelewengan itulah yang menghasilkan sistem kebut semalam, saat kesempatan demi kesempatan terlewatkan tanpa memberikan insight terhadap mahasiswa maka hanya menunggu waktu, tibalah saat yang dijanjikan, termin semakin dekat dan kita tersadar belum menyiapkan apapun untuk menempuhnya. Saya sungguh minta maaf dengan kata “kita” dalam paragraf ini jika pembaca merasa bukan bagian dari orang-orang yang disebutkan. Memang pada dasarnya kita dapat mengejar ketertinggalan itu dengan menghadiri berbagai bimbel serta kumpulan belajar bersama yang tentunya bermanfaat sangat banyak, namun yang sangat membuat jengkel adalah saat waktu yang dijanjikan sudah sangat dekat ada beberapa yang tetap belum tersadar hingga matahari pertama ujian terbit di ufuk, jika di hari itu kemenkes melakukan survei terhadap masisir maka mereka akan mendapati bahwa penelitian mereka terhadap mahasiswa Indonesia tidak ada apa-apanya. Seketika masisir menderita anxiety, kepribadian ganda atau apapun itu.
Hari-hari ujian merupakan waktu untuk berubah ke arah yang lebih baik, berbagai lafaz doa dilangitkan dan ribuan kata maaf diucapkan, siapa tahu kesalahan yang pernah dibuat menjadi penghalang terhadap keberhasilan ujian, hingga ada ungkapan bahwa ujian jauh lebih sakral dari Ramadhan, karena hanya Ramadhan dan ujian yang dapat mengubah kepribadian masisir jauh lebih pendiam dan mungkin lebih baik, tentunya hal-hal baik di atas merupakan kewajiban setiap orang, terlepas dari apakah ia sudah mempersiapkan ujian dengan baik atau tidak. Namun yang menjadi fokus adalah tentang proses studi yang bisa dibilang cacat, bagaimana mungkin seseorang yang mungkin tidak terlalu menguasai kaidah-kaidah dalam membaca buku berbahasa arab lalu dituntut untuk dapat memahami pelajaran yang ada di dalamnya hanya dalam waktu satu malam.
Proses cacat studi inilah yang seharusnya dapat menjadi bahan renungan bagi kita, tidak mustahil hanya dengan kebut semalam masisir bisa berhasil dalam ujiannya, namun tentang kualitas yang akan kita bawa pulang ke tanah air. Jika seorang mahasiswa terlambat studinya karena berbagai kegiatan positif yang ada, maka mungkin saja ia mempunyai value lain yang dapat ia andalkan saat telah kembali ke bumi pertiwi, namun bagaimana dengan orang-orang yang menapakkan kaki di kampus hanya selama 2 minggu ujian saja dan tidak pernah terlihat hadir di tempat-tempat pengembangan kreativitas?
Semoga para pembaca dan saya sendiri tentunya dapat mengingat tulisan ini saat mereka mulai sedikit keluar dari haluan yang benar, terima kasih semoga Allah memberikan akhir yang baik untuk kita semua, bittaufiq wan najah.
Penulis: Noor Latif Mubarak
Editor: Fathiah Salsabila