Oleh: Fikih Azali
Mendidik tanpa melukai anak adalah prinsip penting dalam pola asuh Anak. Setiap tangisan, setiap tantrum, bahkan perilaku yang sering kita sebut “nakal” sejatinya adalah bahasa hati mereka. Anak-anak belajar lebih banyak dari ketenangan dan kasih sayang kita daripada dari kemarahan kita. Keberanian kita untuk memutus rantai luka lama dengan tidak meneruskan pola asuh yang kelam adalah hadiah terbesar yang bisa kita berikan kepada mereka.
Banyak orang tua memarahi anak seolah ia sudah punya otak dewasa dan sengaja “nakal”. Padahal, otak anak masih dalam tahap pembentukan, belum mampu memahami tuntutan seberat itu. Maka sudah sepatutnya kita tidak menghukumi ikan karena ia tak bisa terbang. Begitu pula tidak adil menuntut anak melakukan hal di luar kemampuannya. Kesadaran semacam ini bukan memanjakan anak, melainkan menghargai proses tumbuh kembangnya.
Kita sering lupa bahwa perilaku buruk bukan berarti anak itu pribadi yang buruk. Justru saat itulah kita perlu menabur benih empati. Bertanyalah dalam hati, apa sebenarnya yang sedang mereka rasakan, dan mengapa ia berbuat demikian? Pertanyaan-pertanyaan sederhana inilah jembatan untuk memahami bahwa anak-anak sama seperti kita hanya berusaha mengekspresikan lukanya dengan cara berbeda. Saat hati mereka rapuh, yang dibutuhkan hanyalah didengarkan dan dipeluk, bukan dimarahi.
Dalam hal-hal kecil pun, kita belajar bersama anak. Jika kita sudah mengulanginya berkali-kali namun ia masih belum paham, mungkin bukan anaknya yang lambat, melainkan kita yang belum belajar cara mengajar yang tepat. Dalam hubungan ini, peran guru dan murid saling bertukar: kita mengajari mereka, tetapi dengan caranya mereka pun mengajari kita. Ini bukan kelemahan, melainkan bukti kemanusiaan bahwa kita saling belajar dan tumbuh bersama.
Anak-anak perlu tumbuh, bukan hanya sekadar membesar. Sering kali tinggi badan dan usia mereka membuat kita lupa bahwa mereka masih anak kecil yang sedang belajar tentang dunia. Padahal, di kepala mereka masih berputar dunia kecil yang belum matang. Kita menuntut mereka selalu kuat, padahal kadang yang dibutuhkan hanyalah kita berhenti sejenak, membungkuk sejajar, dan membisikkan, “Tak apa-apa jika belum bisa hari ini.” Kata-kata penuh pengertian itulah yang bisa menjadi penawar bagi hati kecil yang terluka.
Kesadaran semacam ini sangat penting dalam pengasuhan anak, karena ada luka tak kasat mata yang sering diwariskan tanpa disadari. Ada kemarahan yang tak pernah diajarkan, namun tumbuh dari tatapan yang sering diabaikan. Jika kita lengah, kelak anak-anak akan mewarisi pola luka itu dan siklusnya terus berulang. Kita harus memutus rantai tersebut mulai dari sekarang.
Kita perlu menyadari bahwa cara kita berinteraksi membentuk dunia anak. Anak yang dibesarkan dengan celaan perlahan belajar melontarkan makian; anak yang hidup dalam permusuhan menganggap bentrokan sebagai solusi; anak yang dibesarkan dalam ketakutan tumbuh dengan kecemasan yang mendalam. Inilah realita yang sering luput dari perhatian: mereka mempelajari dunia berdasarkan apa yang kita tunjukkan.
Belajarlah merespon, bukan sekadar bereaksi. Tanggapi setiap situasi dengan bijak, dan selesaikan masalah dengan kepala dingin, bukan terburu-buru menghakimi. Inilah kedewasaan dalam bersikap dan bagian dari adab untuk memanusiakan manusia. Kita baru tersadar bahwa bermain bagi anak ternyata bukan sekadar bersenang-senang – ia melatih mereka mengalah, mengelola emosi, dan memahami orang lain. Semua proses pembelajaran anak memang harus dicicil, langkah demi langkah, dan kesabaran orang tua adalah modal terpenting untuk membimbing mereka.
Di Hari Anak ini, marilah kita menjadikan momen berharga ini sebagai komitmen bersama untuk mendengarkan dan menuntun anak-anak kita dengan cinta tanpa syarat. Dengan cara itulah kita memastikan mereka tumbuh tanpa luka, diliputi kasih sayang dan kebahagiaan.