Penulis: Ivy Audrei Arisesando
Editor: Khadijah Buma
Universitas Al-Azhar adalah salah satu lembaga pendidikan tinggi yang berada di kawasan Timur Tengah, tepatnya di negara Mesir. Universitas Al-Azhar merupakan universitas tertua kedua di dunia setelah Universitas Al-Qarawiyin di Maroko yang didirikan pada Tahun 358 H/969 M. Al-Azhar merupakan perguruan tinggi Islam yang menjadi bukti monumental peradaban Islam di Mesir, pada awalnya adalah bangunan masjid yang tidak berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya yang ada pada saat itu. Namun, Al-Azhar selain sebagai tempat ibadah juga digunakan untuk menanamkan faham Syiah Ismailiyah. Dengan mazhab Syiah inilah Masjid Al-Azhar menjadi pencetak dan penguat Dinasti Fatimiyah (358 H/969 M). Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya dinasti berpaham Syiah dalam Islam pada saat itu.1
Dalam memperkuat kekuasaannya di Mesir, Dinasti Fatimiyah membangun sebuah benteng ideologi melalui lembaga pendidikan yang dikenal dengan Al-Azhar. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideologi negara atau pondasi untuk menopang kerangka politik. Di samping itu, kemajuan yang berhasil dicapai oleh dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari prestasi dan tunjangan laju pertumbuhan di sektor-sektor terpenting, di antaranya militer yang kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan yang berkembang, dan ekonomi yang stabil2.
Namun, setelah Dinasti Fatimiyah jatuh ke tangan Shalahuddin Al-Ayyubi (567 H/1171 M), maka ia mengambil kebijakan baru dengan menutup seluruh aktivitas di Al-Azhar secara total bahkan melarang penggunaannya untuk kegiatan apa pun. Hal itu dilakukan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh Syiah yang lama dikembangkan pada masa penguasaan Dinasti Fatimiyah. Sebagai gantinya, Shalahuddin mendirikan madrasah-madrasah di sekitar Al-Azhar yang mengajarkan Islam dengan empat mazhab aliran Suni. Selama hampir satu abad (dari tahun 1171-1267 M) Al-Azhar dikosongkan. Pada abad kekosongan itu, salat Jumat di masjid Al-Azhar pun di larang dan pindah ke masjid Al-Hakim, karena mereka berpemahaman tidak boleh ada dua khutbah di dalam satu kota. Semenjak itulah dinasti Fatimiyah berakhir sehingga Al-Azhar berubah menjadi universitas aliran Suni. Ia telah mencapai prestasi dan reputasi yang gemilang sebagai otoritas bidang keagamaan yang sampai sekarang tetap diperlukan3.Hingga saat ini, Al-Azhar masih menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang besar.4
Sebagai lembaga pendidikan, Al-Azhar tentunya memiliki sistem dalam menjalankan fungsinya, sistem tersebut dirancang ketika awal pendiriannya, di antaranya adalah;
Sistem Pendidikan Al-Azhar Pada Masa Fatimiyyah
- Memiliki Tujuan, dalam mengemukakan kebenaran dan pengaruh turats (peradaban) Islam terhadap kemajuan umat manusia dan jaminannya terhadap kebahagiaannya di dunia dan di akhirat, serta mencetak ilmuwan agama yang aktif dalam semua bentuk kegiatan, karya, kepemimpinan, dan menjadi contoh yang baik serta mencetak ilmuwan dari berbagai ilmu pengetahuan yang sanggup untuk aktif dalam mendakwahkan Islam yang dipimpin dengan hikmah dan kebijaksanaan dan pelajaran yang baik di luar dan di dalam Republik Arab Mesir.
- Meningkatkan hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan universitas dan lembaga ilmiah Islam di luar negeri. Selain mengajarkan mata pelajaran agama dan sastra tradisional, Al-Azhar juga mengajarkan geografi, astronomi, kedokteran, teknik, dan matematika.
- Mempunyai tenaga pendidik, Pada tahun 365 H/975 M sebagai contoh, untuk pertama kalinya dimulai kegiatan ilmiah dalam bentuk kuliah-kuliah yang diberikan oleh Abu Hasan Ali ibn Muhammad ibn Nu’man Al-Qairani yang menjabat sebagai hakim tertinggi, dengan materi yang diajarkan mengenai fikih syariah yang terdapat dalam kitab Al-Ikhtisar.
- Memiliki peserta didik, Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi ketika itu, telah banyak melahirkan ulama yang tidak diragukan lagi dari aspek keilmuannya dan telah banyak menyumbangkan khazanah ilmu pengetahuan terutama dalam bidang ilmu-ilmu keislaman, baik dari Mesir maupun ulama yang berasal dari daerah lainnya. Di antara mereka ialah Izuddin Abdissalam, Imam Subki, Jalaluddin as-Syuyuti, Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqalani dan lainnya. Al-Maqrizi menyebutkan bahwa pada saat itu ada 750 mahasiswa asing yang berasal dari Maghribi (Maroko) dan Persia turut serta belajar ke Universitas Al-Azhar.
- Metode pengajaran, pada awalnya pembelajaran di Universitas Al-Azhar mirip dengan institusi pendidikan lainnya, ialah berupa sistem halaqah (duduk melingkar). Seorang peserta didik boleh memilih pendidik dan pindah sesuai dengan yang diinginkannya. Pada umumnya pendidik atau syekh yang mengajar akan duduk bersama para pelajar, tapi kadang-kadang syekh akan duduk di kursi ketika menerangkan kitab yang diajarkan. Selain itu, metode diskusi juga digunakan sebagai metode dalam kegiatan pembelajaran antar siswa. Seorang pendidik hanya berfungsi sebagai fasilitator dan pemberi penajaman lebih dari materi yang didiskusikan (Napitupulu & Sumanti, 2017).5
Seiring berjalannya waktu muncul proses modernisasi pendidikan di Al-Azhar, beberapa hal yang melatarbelakangi modernisasi pendidikan di antaranya adalah;
- Pertama, bergesernya paham rasional Syi’ah pada ortodoksi ideologi aliran Suni, runtuhnya Dinasti Fatimiah yang bermazhab Syi’ah oleh Dinasti Ayyubiyah yang beraliran Suni di Mesir juga memberi pengaruh besar terhadap pemikiran dan orientasi Al-Azhar. Setelah hampir 200 tahun digunakan Bani Fatimiyah sebagai basis pendidikan dan penyebaran doktrin-doktrin Syi’ah, Al-Azhar diambil alih oleh Salahuddin Al-Ayyubi untuk dijadikan madrasah juga masjid yang berorientasi aliran Suni. Berlainan dengan Bani Fatimiyah yang menekankan pengajaran filosofis dan teologis, Dinasti Ayyubiyah, sebagaimana penguasa dan pemuka aliran Suni yang lain, lebih mementingkan pengajaran fikih dalam madrasah yang mereka kelola, termasuk Al-Azhar. Pengambilalihan ini, sebenarnya telah mereduksi posisi Al-Azhar yang berorientasi supralokal menjadi lembaga yang berwawasan sempit dikarenakan lingkup politik Dinasti Ayyubiyah yang bercorak lokal. Akibatnya, umat Islam tergiring pada pemikiran ortodoks yang hanya memikirkan kehidupan akhirat yang bersifat fiqhiyah. Pemikiran rasional, seperti filsafat, tidak boleh lagi berkembang di Al-Azhar karena akan membuat seseorang menjadi kafir, berganti dengan pemikiran ortodoks yang hanya menerima hidup ini apa adanya, yaitu Jabariah. Berkembangnya pemikiran aliran Suni ini, ternyata berdampak bagi tertutupnya pintu ijtihad, sejarah membuktikan kelengahan umat Islam dalam memahami pergeseran “agama yang benar” kepada “ortodoksi ideologi”. Akibatnya, ketika agama telah berubah menjadi dogma-dogma fikih teologi Asy’ari, umat Islam kehilangan kesempatan menatap sisi-sisi negatif dikotomi itu, ditambah lagi kehadiran berbagai mazhab yang berseteru, partai yang bersaing, kelompok-kelompok muslim yang berselisih, dan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang tidak akur adalah manifestasi dominasi fikih yang menggerus akar kekuatan umat. Pada akhirnya, perselisihan ini membuat ilmu pengetahuan stagnan dan tidak berkembang. Sebuah realita di mana kelak ditengarai hal ini menjadi awal kemunduran pendidikan sekaligus dunia Islam itu sendiri secara keseluruhan. Dalam rangka mengembalikan paham aliran Suni sekaligus memperkokoh basis kemasyarakatan, para ulama sering melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan (Fauzan, 2005: 164). Pada masa ini, materi pelajaran sangat minim, hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama, bahkan pendidikan Islam lebih identik dengan pengajaran tasawuf dan fikih. Kondisi demikian terus diperburuk seiring dengan runtuhnya kota Bagdad, akibat serangan tentara Mongol pada tahun 1258 M, yang berakibat pada kehancuran kebudayaan dan pusat pendidikan Islam. Hal ini kemudian berdampak pada situasi politik dan membuat lemahnya sektor pendidikan, baik institusi, metodologi, bahkan tujuan pendidikan Islam.
- Kedua, invasi Napoleon Bonaparte dari Prancis yang mengalahkan Kerajaan Turki Usmani di Mesir dalam waktu yang cepat. Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling menghancurkan, yakni kekuatan Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak abad ke-13; dan kekuatan yang didukung oleh pemerintahan Utsmani di Istanbul (Nasution, 1992: 59). Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial, dan kelemahan kemasyarakatan adalah dampak dari menjadi wilayah yang selalu diperebutkan dan diincar oleh negara-negara Islam yang kuat, hal ini sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun peradaban pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh kekacauan perang.
- Ketiga, persentuhan peradaban Prancis yang dibawa Napoleon pada pendidikan di Al-Azhar. Kedatangan Napoleon Bonaparte tidak hanya dengan pasukan perang, tetapi juga dengan membawa 160 orang, di antaranya pakar ilmu pengetahuan yang dilengkapi dua set percetakan dengan huruf Latin, Arab, dan Yunani; peralatan eksperimen (seperti: teleskop, mikroskop, kamera, dan lain sebagainya); serta seribu orang sipil bersamanya. Tidak hanya itu, Napoleon Bonaparte pun mendirikan lembaga riset bernama Institut d’Égypte, pembangunan yang mengenalkan ilmu pengetahuan modern terhadap Mesir dan mengenalkan sejarah Mesir pada Eropa modern melalui karya yang mereka tulis. Ilmu-ilmu yang terdiri dari empat elemen, yaitu ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan politik, serta ilmu sastra dan kesenian.
Lembaga ini bertugas memberikan masukan bagi Napoleon dalam memerintah Mesir. Lembaga ini terbuka untuk umum terutama ilmuwan (ulama) Islam. Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam, khususnya di Mesir yang menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping membawa pasukan yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian. Ini adalah momen pertama kali ilmuwan Islam mengalami kontak langsung dengan peradaban Eropa, termasuk Abd Al-Rahman Al-Jabarti. Baginya perpustakaan yang dibangun oleh Napoleon sangat menakjubkan karena Islam diungkapkan dalam berbagai bahasa dunia. Untuk memenuhi kebutuhan ekspedisinya, Napoleon berusaha keras mengenalkan teknologi dan pemikiran modern kepada Mesir, serta menggali Sumber Daya Manusia (SDM) Mesir dengan cara mengalihkan budaya tinggi Prancis kepada masyarakat setempat. Sehingga dalam waktu yang tidak lama, banyak diantara cendekiawan Mesir yang belajar tentang perpajakan, pertanian, kesehatan, administrasi, dan arkeologi. Ekspedisi Napoleon membawa perubahan signifikan bagi perkembangan bangsa Mesir, terutama yang menyangkut pembaharuan dan modernisasi pendidikan Islam di sana (Stanton, 1998: 254). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Prancis banyak memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh Mesir untuk melakukan perubahan secara mendasar pada pola sistem dan kurikulum pendidikan yang sebelumnya dilakukan secara konvensional. Namun, efek pembaharuan pada Al-Azhar baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, sistem ujian, dan pengenalan pokok-pokok kajian baru, dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam seperti teologi dan filsafat. Sebagai contoh, di Mesir terdapat tokoh semacam Rifa’ah Al-Tahtawi juga Muhammad Abduh sebagai anggota Majelis Tinggi Al-Azhar, ia pernah menggagas pembaharuan Al-Azhar dengan memasukkan mata kuliah matematika, aljabar, ilmu ukur, dan ilmu bumi ke dalam kurikulum. 6
Akibat dari keterbelakangan umat Islam di Mesir, sebuah spirit untuk keluar dan maju sejajar dengan Eropa dan Barat timbul, sehingga muncullah gerakan-gerakan baru yang memelopori perubahan mendesak di kalangan umat Islam, sebagai wujud kesadaran dari kebangkitan kembali pendidikan Islam (Armando, 2005: 137). Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan pendidikan Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka memandang umat Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari Barat. Para pemikir Islam di Mesir berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali melalui pendidikan. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taklid dan jumud, yang ditengarai akibat dari mundurnya aktivitas ijtihad, bahkan pintu ijtihad telah tertutup (Armando, 2005: 137), menjadi penyebab yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru yang memelopori perubahan mendesak di kalangan umat Islam, sebagai wujud kesadaran dari kebangkitan kembali pendidikan Islam. Periode kebangkitan ini berlangsung sejak abad ke 19, yang merupakan kebangkitan kembali umat Islam terhadap periode sebelumnya, yang dinamakan dengan fase pembaruan.7
Tercatat beberapa nama ulama besar yang berperan sebagai pembaharu bidang pendidikan Islam yang muncul di Timur Tengah, seperti Muhammad Ali Pasya, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha dari Mesir.8 Mereka memelopori pembaharuan tersebut dengan usaha-usaha yang gemilang di antaranya adalah:
- Muhammad Ali Pasya
Muhammad Ali terpengaruhi oleh cerita-cerita para pembesar yang berada di sekitarnya mengenai unsur-unsur dan hal-hal baru yang dibawa oleh ekspedisi Napoleon. Usaha Muhammad Ali dalam bidang pendidikan dimulai dari mendirikan suatu lembaga kementrian pendidikan. Lembaga ini dimaksudkan untuk mengelola dan mengatur pengadaan dan pengembangan berbagai sarana pendidikan.9 Saat itu Mesir masih mempunyai sistem pendidikan tradisional, yaitu kuttab, masjid, madrasah, dan Jami’ Al-Azhar. Sementara itu, Muhammad Ali melihat kesulitan yang akan dihadapi jika ia memasukkan kurikulum modern ke dalam lembaga pendidikan tradisional tersebut. Oleh karena itu, beliau mengambil jalan alternatif dengan cara mendirikan sekolah modern di samping madrasah tradisional yang telah ada dan masih berjalan. Kurikulum-kurikulum pendidikan dirombak dan beberapa mata pelajaran menyesuaikan diri sesuai kebutuhan pada waktu itu. Beberapa tambahan mata pelajaran umum yang sebelumnya tidak dirumuskan, dimasukkan ke dalam mata pelajaran intensif, seperti, mata pelajaran bahasa Eropa yang menjadi kewajiban di sekolah-sekolah menengah. Begitu pula spesialis bidang-bidang terapan mengalami penekanan pembelajaran yang semakin penting. Dalam hal kurikulum, Muhammad Ali Pasya menghendaki adanya pembaharuan dalam bidang kurikulum, yakni ingin menyesuaikan kurikulum tersebut dengan keadaan dan tuntutan zaman, serta relevan dan selaras dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, sehingga nantinya tidak jauh tertinggal dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa. Adapun ilmu-ilmu modern yang dimasukkan Muhammad Ali Pasya ke dalam kurikulum pendidikan, yaitu Ilmu Pengetahuan Bahasa, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, dan Pengetahuan Keterampilan.10 Langkah-langkah Muhammad Ali tersebut sangat baru bagi rakyat Mesir, tentu saja mereka menyambut dengan gembira. Banyak pula pemuda cerdik dan pandai yang kemudian dikirim ke Barat dalam usaha mempelajari bahasa Eropa dan metode penerjemahan.11 Beberapa usaha pembaharuan Muhammad Ali Pasya inilah yang berhasil membawa Mesir menuju sebuah negara modern. Berkat jasa-jasanya inilah, Ali Pasya pun diberi gelar The Founder of Modern Egypt (Bapak pembaharuan Mesir modern). Sepintas pembaharuan yang di lakukan Muhammad Ali Pasya hanya berupa keduniawian saja, akan tetapi dengan terangkatnya kehidupan dunia umat Islam, sekaligus terangkat pula derajat keagamaannya.12
2. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dikenal dalam dunia Islam sebagai mujadid. Ia berusaha untuk mengadakan pembaharuan dengan mengajak kembali kepada ajaran Islam, mengkajinya dengan jernih, dan menafsirkan kembali (reinterpretasi) pemahaman agama itu secara kritis, agar ajaran Islam benar-benar mampu diaktualisasikan dalam perkembangan zaman yang selalu berubah, sehingga ia dianggap sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam.13 Tahun 1866, beliau belajar ke Al-Azhar, di tahun itu juga beliau pertama kali bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Muhammad Abduh adalah murid yang paling setia, bahkan ia adalah seorang tokoh pembaruan Islam di Mesir yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Jamaluddin Al-Afghani, beliau pernah menjabat sebagai mufti Mesir pada tahun 1899, kemudian wafat pada tahun 1905 M.14
Beliau bependapat bahwa penyakit yang melanda negara Islam adalah kerancuan pemikiran agama umat Islam akibat datangnya peradaban Barat dan adanya tuntunan modernisasi. Kaum muslimin menghadapi kemunduran yang berkepanjangan sehingga mereka tidak siap menghadapi modernisasi. Beliau berpendapat bahwa sebab kemunduran umat Islam adalah sikap jumud yang terdapat pada umat Islam itu sendiri. Jumud adalah keadaaan statis sehingga umat tidak siap menerima perubahan, sikap itu akhirnya membawa umat pada kemunduran peradaban Islam.15 Terhadap Universitas Al- Azhar Muhammad Abduh memfokuskan tujuan utamanya untuk mengembangkan landasan pendidikan. Abduh menegaskan untuk memasukkan materi sains modern kedalam kurikulum ajaran Islam Al-Azhar. Sebab menurut pertimbangannya, Al-Azhar merupakan lambang dan model pendidikan Islam di Mesir secara khusus dan pusat pendidikan Islam secara umumnya (Nasrudin Yusuf, 2011). Muhammad Abduh berpendapat bahwa mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada asumsi bahwa ajaran Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi seorang muslim (Nasrudin Yusuf, 2011). Muhammad Abduh memperbaharui sistem lembaga pendidikan kurikulum sekolah dasar, menengah dan kejuruan, serta perguruan tinggi16.
3. Rasyid Ridha
Gagasan pembaruan Muhammad Rasyid Ridha adalah reformasi dunia pendidikan, yakni dengan menambah kurikulum baru dalam sekolah Islam. Kurikulum tersebut seperti teologi, sosiologi, filsafat, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu kesehatan, dan bahasa asing. Bukti konkret Rasyid Ridha dalam menuangkan pembaruannya dalam Islam, tercatat dalam sebuah Tafsir Al-Manar. Tujuan Rashid Ridha dalam menerbitkan majalah Al-Manar adalah sebagai pembaharuan melalui media cetak yang di dalamnya berisikan bidang agama, sosial, ekonomi, memberantas takhayul, dan paham bidah yang meracuni kalangan umat Islam, serta menghilangkan faham fatalisme. Dalam perjuangannya yang luar biasa demi memompa ide-ide pembaruan, Rasyid Ridha sangat disegani oleh umat Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan sejumlah karya ilmiah yang menyertai gagasannya, antara lain; Al-Hikmah Asy-syar’iyah fi Muhkamat Al-Dadiriyah Al-Rifa’iyah, Al-Azhar, dan Al-Manar. Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Ridha, Nida’ li Al-jins Al-lathif, Zikra Al-maulid An-Nabawi, Al-sunnah wa Al- syi’ah, Al-wahdah Al-islamiyah, Haqiqah Al-Riba, dan Majalah Al-Manar17, berisikan Riwayat hidup Rasyid Ridha dan perkembangan masyarakat Mesir pada masanya.
Beberapa tokoh pembaharu diatas sangat berpengaruh sekali dalam kemajuan dunia pendidikan Islam, yang mana mereka juga berperan dalam perkembangan kemajuan Universitas Al-Azhar. Hingga saat ini, ide inovasi kemajuan tersebut masih dapat kita rasakan, terutama bagi yang menempuh pendidikan di Al-Azhar. Pendidikan Islam di Al-Azhar dapat disimpulkan pada beberapa hal; Pertama, Dinasti Fatimiyah menjadikan Mesir sebagai pusat pemerintahan, maka didirikanlah Masjid Al-Azhar di Kairo, yang kelak menjadi lembaga pendidikan tinggi Al-Azhar. Dinasti Fatimiyah menjadikan Al-Azhar ini propaganda ajaran Syi’ah, juga dikembangkan fungsinya untuk memperkuat kekuasaan Dinasti Fathimiyah melalui ideologi. Akibat banyaknya para pelajar yang ingin mendalami ilmu agama dan berdiskusi, maka timbul inisiatif untuk mengembangkan masjid ini menjadi sebuah universitas yang merupakan dasar yang sangat fundamental dalam membangun paradigma pemikiran keislaman. Berdiri pula Dinasti Ayyubiyah di Mesir yang berpaham aliran Suni dan berdampak bagi perkembangan Al-Azhar. Kedua, kedatangan Napoleon Bonaparte untuk menguasai Mesir yang membawa peralatan perang canggih dan juga ilmu pengetahuan pada umat Islam dan berdampak bagi perkembangan Al-Azhar. Kedua, latar belakang terjadinya pembaharuan di Al-Azhar karena bergesernya paham rasional Syi’ah pada ortodoksi ideologi aliran Suni, invasi Napoleon Bonaparte dari Prancis yang mengalahkan Kerajaan Turki Usmani di Mesir dalam waktu yang cepat, dan persentuhan peradaban Prancis yang dibawa Napoleon pada pendidikan di Al-Azhar. Ketiga, tokoh dan ide pembaruan di Al-Azhar dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha yang berusaha melukakan reformasi dan modernisasi di Al-Azhar dengan mamasukkan kurikulum-kurikulum dari Barat. Umat Islam dalam pandangan mereka harus keluar dari ketertinggalan, melalui pembukaan kembali pemikiran rasional dan membuka diri terhadap peradaban modern yang ada di Barat seperti yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis.
1 Abdullah Sani, Universitas Al-Azhar Mesir dan Politik, Jurnal Al-Kaffah. Vol.2, No.2, 2021
2 M. Sirozi, Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Kepentingan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2010), h. 4.AL-KAFFAH, Vol. 9, No.2 Juli-Desember 2021: 229-240
3 Nata, Sejarah Pendidikan, h. 188-190.
4 https://www.republika.co.id/berita/pnj0ql458/sekilas-sejarah-universitas-alazhar-kairo-mesir
5 Journal Of International Multidisciplinary ResearchVol:1, No:2, Desember2023
6 Syahraini Tambak, Eksistensi Pendidikan Islam Al-Azhar: Sejarah Sosial Kelembagaan Al-Azhar dan Pengaruhnya terhadap Kemajuan Pendidikan Islam Era Modernisasi di Mesir
7 Jurnal Al-Thariqah, Vol.1, No.2, Desember 2016
8 Edi Yusrianto, Lintasan Sejarah Pendidikan Islam, ( Pekanbaru: Intania Grafika, 2008), h. 52.
9 H. Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Islam, (Cet. 1; Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 58-59.
10 Abd Mukti, Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir, (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2008), h. 78.
11 Nisa Assajdah, Skripsi Pembaharuan Pendidikan Islam: Studi atas Pemikiran Muhammad Ali Pasya, h. 49
12 Samsul Ahmad, Skripsi PERANAN MUHAMMAD ALI PASHA DALAM PENGEMBANGAN ISLAM DI MESIR, h.31
13 Mimbar Kampus, Jurnal Pendidikan dan Agama Islam, Pemikiran Muhammad Abduh, Vol.23, No.2 14 Yusniamru Ghazali, “Sejarah Kebudayaan Islam Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013”, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2016), 89
14 Yusniamru Ghazali, “Sejarah Kebudayaan Islam Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013”, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2016), 89
16 Ihsan, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 3, Jurnal Pendidikan Islam