Islam adalah agama yang sempurna, kesempurnaan islam ditunjukkan dengan banyaknya syariat-syariat yang menuntun di dalamnya, yang mana dengan berbagai macam syariat ini menjadikan islam semakin tertanam di hati para pemeluknya, dan dengan syariat itu pula kaum muslimin menemukan sumber kebahagiaan di dalam hidupnya.
Di antara syariat islam yang agung ini adalah ibadah kurban, yaitu sebuah ibadah penyembelihan hewan kurban (unta, sapi/kerbau, kambing/domba) di hari Raya Idul Adha dan hari-hari Tasyrik (11-13 Zulhijah). Adapun hikmah dari ibadah kurban ini adalah sebagai ajang untuk menampakkan rasa cinta dan bahagia serta menyebarkan perasaan bahagia di hati masyarakat terlebih lagi untuk mereka yang kurang dalam hal materi.
Berkurban juga menjadi sebuah pengingat kisah perjalanan Nabi Ibrahim a.s. yang dengan ikhlas dan penuh ketaatan menjalankan perintah Allah SWT. untuk menyembelih putra tercintanya, Nabi Ismail a.s. yang mana kisah ini mengajarkan kepada kita untuk benar-benar menaati perintah Allah seberat apapun perintah itu, walau harus mengorbankan sesuatu yang sangat kita cintai, agar kita sadar bahwa segala yang kita miliki di dunia ini hakikatnya hanyalah sebuah titipan yang kapan saja bisa diambil oleh pemilik titipan tersebut, yaitu Allah SWT. Hal ini senada dengan firman Allah SWT. di dalam surat Ali Imran ayat 92:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ
“Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai”.
Dengan ketaatan tersebut kita akan mendapatkan sebuah kebahagiaan di baliknya sebagaimana kebahagiaan Nabi Ibrahim a.s. ketika Allah SWT. mengganti posisi Nabi Ismail a.s. dengan seekor kibas sesaat ketika akan disembelih.
Di Indonesia, hari Raya Kurban adalah istilah lain dari hari Raya Idul Adha. Ada pula yang menamakannya hari Raya Haji dikarenakan hari Raya Idul Adha bertepatan dengan prosesi puncak ibadah haji. Hari Raya Idul Adha di Indonesia memang tidak sebesar dan tidak sesemarak hari Raya Idul Fitri, hal ini bertolak belakang dengan negara-negara Arab yang justru menjadikan hari Raya Idul Adha jauh lebih meriah dan semarak dibandingkan hari Raya Idulfitri. Kok begitu? Jawabannya simpel saja, hari Raya Idul Adha itu besar karena berjalan selama 4 hari (mulai dari 10-14 Zulhijah), sedangkan hari Raya Idulfitri hanya berlangsung sehari saja (1 Syawal) itulah yang menjadi sebab kenapa di negara-negara Arab hari Raya Idul Adha jauh lebih besar dibanding hari Raya Idulfitri.
Namun dengan berkembangnya zaman dan banyaknya kaum muslimin yang masih awam mengakibatkan terjadinya beberapa fenomena yang sudah ditetapkan hukumnya oleh para Ulama, hanya saja karena keawaman, kita sebagai penuntut ilmu menjadi terpanggil untuk menjelaskannya walaupun dengan singkat.
Diantara fenomena yang terjadi adalah banyaknya masyarakat yang bertanya apakah boleh menggabungkan niat kurban dan niat akikah dalam satu waktu?
Hal ini memang menjadi khilaf di kalangan fuqoha’, diantara fuqoha’ ada yang memperbolehkannya dan ada pula yang melarangnya. Imam Ibn Hajar Al-haitami mengatakan dalam Tuhfatul Muhtaj: “Jika seseorang menyembelih seekor kambing dengan niat berkurban dan akikah secara bersamaan maka tidak tercapai kedua-dua (niat) tersebut, dikarenakan kurban adalah suatu ibadah yang khusus sedangkan akikah adalah suatu ibadah yang khusus pula, oleh karena itu tidak bisa digabung. Sedangkan ulama-ulama Hanafiyyah membolehkan untuk menggabungkan niat berkurban dan akikah dalam satu waktu.
Sedangkan Komisi Fatwa Al-Azhar mengatakan: jika seseorang itu mampu untuk membeli 2 hewan (untuk kurban dan akikah) maka tidak diperbolehkan baginya untuk menggabungkan 2 niat tersebut, hal ini sejalan dengan pendapat Malikiyyah, Syafi’iyyah dan riwayat dari Hanabilah. Adapun jika seseorang itu hanya mampu membeli 1 hewan kurban maka diperbolehkan baginya untuk menggabungkan niat berkurban dan niat akikah, hal ini sejalan dengan pendapat Hanafiyyah dan riwayat dari Hanabilah, wallahu a’lam.
Diantara fenomena yang juga terjadi adalah ketika masyarakat bertanya apakah boleh menjual daging kurban?
Jawabannya adalah tidak diperbolehkan bagi orang yang berkurban untuk menjual daging hasil kurbannya sendiri kepada orang lain, sebagaimana firman Allah SWT. di dalam surat al-Hajj ayat 28:
لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ ۖ
“(Mereka berdatangan) supaya menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka berupa binatang ternak. Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir.”
Dari ayat ini kita dapat memahami bahwa Allah SWT. memperbolehkan kita untuk memakan hewan yang telah kita kurbankan “Makanlah sebagian darinya” bukan untuk menjualnya kembali, dan tidak didapati dalil akan kebolehan menjual daging dari hewan yang telah kita kurbankan.
Adapun ketika kita sudah membagi-bagikan daging hewan qurban tersebut kepada orang fakir misalnya, maka orang fakir ini boleh menjual daging tersebut kepada siapa pun, karena daging itu sudah menjadi hak miliknya, dan dia bukanlah orang yang berkurban.
Kemudian timbul pula rentetan pertanyaan setelahnya, lalu apakah boleh menjual kulitnya saja tanpa dagingnya?
Jawabannya adalah tetap tidak diperbolehkan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya.” (HR. Hakim).
Diantara fenomena yang juga terjadi ditengah masyarakat kita adalah ketika si tukang jagal atau tukang bantai hewan kurban mengambil bagian dari hewan kurban tersebut sebagai upah dari kerjanya sebagai tukang jagal hewan kurban, apakah hal ini diperbolehkan?
Jawabannya adalah hal ini tidak diperbolehkan, sayangnya hal ini marak terjadi di negeri kita, tukang jagal sengaja menyimpan porsi tertentu dari daging kurban untuk dirinya dengan dalih upah atas pekerjaannya. Adapula yang mengambil secara bersama-sama kemudian memasak daging tersebut untuk makan siang sebagai upah atas kerja mereka menyembelih hewan kurban, padahal hal ini adalah hal yang terlarang, dalam artian si tukang jagal tidak boleh mengambil bagian dari hewan kurban sebagai upah dan si pemilik hewan kurban tidak boleh memberikan bagian dari hewan kurbannya kepada si tukang jagal dalam bentuk upah, ini senada dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
عن عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ على بُدْنِهِ فَأُقَسِّمَ جِلَالَهَا وَجُلُودَهَا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ من عِنْدِنَا
“Dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kepadaku untuk mengurusi hewan kurbannya kemudian aku membagikan jilal-nya (pakaian hewan yang terbuat dari kulit untuk menahan dingin) dan kulitnya, dan beliau memerintahkan kepadaku untuk tidak memberikan sedikit pun bagian tubuh dari hewan kurban tersebut (sebagai upah) kepada tukang jagal. Dan beliau bersabda: Kami akan memberikan upah tukang jagalnya dari harta yang ada pada kami”. (Muttafaq alaih).
Lalu bagaimana solusinya?
Dalam keadaan ini ada 3 solusi:
- Orang yang berkurban menyiapkan upah khusus untuk tukang jagal di luar bagian dari hewan kurban tersebut.
- Tukang jagal tersebut mengambil bagian dari hewan kurban tersebut bukan sebagai upah, akan tetapi sebagai hadiah dari pemilik hewan kurban, maka tukang jagal harus meminta izin dari pemilik.
- Tukang jagal tersebut mendapat bagian dari hewan kurban dari jalur kerabat atau dikarenakan dia fakir, bukan karena dia tukang jagal sehingga dia mendapat jatah daging atau kulit.
Inilah di antara fenomena-fenomena seputar ibadah kurban yang terjadi di sekitar masyarakat kita, tentunya masih banyak fenomena-fenomena lain yang terjadi, namun bukan disini tempatnya untuk menguraikannya satu persatu. Fenomena-fenomena seperti ini harus senantiasa kita ingatkan hukumnya sebagai bentuk kepedulian kita terhadap masyarakat awam agar mereka tidak terjerumus kedalam kesalahan kesalahan dalam praktek ibadah qurban, semoga kita juga dikaruniai oleh Allah rezeki yang berlimpah dan berkah sehingga kita bisa dapat berpartisipasi dalam ibadah qurban disetiap tahunnya sebagai bentuk usaha mendekatkan diri kita kepada sang pencipta Allah SWT, amin yaa rabbal alamin.
Penulis: Arfad Zikri
Editor: Fathiah Salsabila