Transisi Kekuasaan dan Pengaruhnya Terhadap Realitas Kehidupan Masisir

Menelaah materi dengan makna kekuasaan sebenarnya cukup melelahkan dan membuat jengkel, bagaimana tidak, nuansa politik terkadang bisa menciptakan berbagai upaya kejahatan dan perselisihan. Mari kita sedikit mengulik kembali segudang peristiwa yang terjadi sepanjang agenda politik dilaksanakan, bagaimana setiap orang jujur berusaha dengan kharisma dan pengaruhnya untuk dapat melanggengkan memangku jabatan, dan bagaimana pula orang-orang kaya dengan tindakan represif berusaha untuk bisa semakin kaya.

Dengan melihat apa yang dipertontonkan oleh media, setiap anak muda khususnya mahasiswa yang tinggal di luar negeri seperti kita pastinya hanya dapat melihat dan berkomentar tanpa adanya aksi yang bersifat masif, karena kita tidak bisa sama seperti mahasiswa di tanah air yang mampu mengutarakan segala macam keresahan anak muda dengan jalan diskusi bersama para pemangku jabatan atau bahkan dengan cara yang cukup demokratis seperti turun ke jalan.

Namun yang jadi pertanyaan adalah, sudah siapkah mahasiswa Indonesia di Mesir menghadapi berbagai macam transisi yang akan berlaku. Transisi kekuasaan tentunya akan sangat dekat dengan transisi kebijakan yang bisa saja menguntungkan mahasiswa luar negeri seperti kita atau bahkan dapat merugikan, karena ironisnya kita tidak hanya dihadapkan pada hasil kebijakan politik para pemimpin di Indonesia, namun juga dikungkung dalam sistem pemerintahan Mesir yang tentunya tak lebih baik dari Indonesia. Kita dihadapkan kepada dua sisi mata uang yang tidak dapat dan tidak harus terus saling berdampingan dan berjalan secara serentak.

Sengaja saya menulis judul dengan sedikit ijmal agar makna yang tertuang bisa menjadi hipernim dan dapat menyangkut semua proses transisi kekuasaan. Jika seorang mahasiswa khususnya masisir diberi pertanyaan, seberapa pahamkah mereka dengan istilah Presidential Threshold ? atau jika diberi pertanyaan lagi tahukah mereka dengan ambang batas 4% yang ditetapkan oleh undang-undang negara kita? Ini yang menjadikan mahasiswa luar negeri seperti kita tidak terlalu merasakan pengaruh dan akibat dari transisi kekuasaan. Apalagi seorang masisir sering kali dijustifikasi dengan kalimat “Hanya seorang ustadz”,  Ustadz cukup mengatur tentang pedoman beragama dan tidak terlalu perlu campur tangan dalam hal kekuasaan.

Dalam tulisan ini saya banyak menulis kata ironi, karena memang itu yang terjadi di kalangan kawula muda seperti kita. Jika seorang mahasiswa Al Azhar didikotomikan kedalam bagian yang hanya mengurus perkara beragama, maka bagaimana nasib para santri tingkat lanjut yang memiliki keterbatasan mengakses kemudahan teknologi dan informasi?  Mereka akan sangat buta terhadap hal-hal atau istilah yang bernuansa politik, berbeda dengan masisir yang bahkan bisa dengan bebas memilih apakah ia akan masuk kuliah atau bertalaqqi di berbagai halaqat yang tersebar di segala penjuru Mesir atau memilih tidur di musim dingin karena itu adalah sebuah kenikmatan yang tidak akan dapat dinikmati di Indonesia.

Maka pokok pikiran dari judul tulisan ini adalah bagaimana transisi kekuasaan itu bisa mempengaruhi kualitas berpikir, jika dengan terjadinya pergantian kekuasaan hanya akan menyebabkan kemunduran cara berpikir, lalu apa gunanya ada pemimpin. Pemimpin harusnya dapat bergerak maju bukan hanya dalam bidang infrastruktur dan ekonomi, namun juga dalam bidang akademis.

Pertanyaan selanjutnya, seberapa tahukah masisir terhadap wacana penghentian kucuran dana LPDP yang tentunya akan berimpak sangat besar bagi para penerimanya. Dana abadi yang seharusnya dapat mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka dari itu saya tekankan, kata pengaruh dalam judul saya adalah tentang waktu. Mari kita lihat, jika masisir hanya menonton maka kita akan tetap dijustifikasi ke dalam bagian “Hanya seorang pemuka agama”. Kita semua boleh membantah dengan tegas tentang opini saya yang mungkin ada kurang tepatnya, sangat banyak masisir yang ikut berkontribusi dalam pengaruh terhadap kekuasaan, seperti ikut dalam berbagai kegiatan ke-masisiran atau bahkan masuk ke dalam kabinet PPMI, senat, kekeluargaan, almamater atau apapun itu yang dapat mengembangkan potensi daya kritis dan leadership seseorang. Namun sadarkah kita dalam pemilihan presiden PPMI jumlah pemilih tidak mencapai 50% dari total DPT, sadarkah kita bahwa beberapa orang atau bahkan banyak orang hanya menjadikan keikutsertaannya dalam berbagai organisasi hanya sebatas untuk mengisi Curiculum Vitae yang katanya nanti akan memudahkannya dalam mencari pekerjaan.

Maka esensi dari pengaruh kekuasaan tidak dapat terlihat dan mungkin mencapai nihil, jika para mahasiswanya hanya menonton. Kita selama ini selalu terkungkung dalam doktrin seakan-akan kita yang paling benar, maka cara yang paling tepat untuk mengatasi itu adalah dengan melihat sebuah masalah dari segala sudut pandang dan tidak hanya menerima informasi dari satu arah, lagi-lagi pengaruh kekuasaan memang sangat penting. Jika mengambil contoh dari pemimpin negara-negara komunis yang memegang teguh prinsip kekuasaan yang absolut, maka rakyatnya akan terdoktrin dengan pengaruh itu, “lebih baik diam daripada dihukum mati”.

Sebagai kalimat penutup, mungkin kita para mahasiswa harus kembali diingatkan tentang makna luas pengaruh kalimat sumpah pemuda 1928, mereka percaya bahwa pengaruh kekuasaan pemuda kala itu akan dapat menjadikan Indonesia merdeka, walau itu terjadi 17 tahun setelahnya. Bagaimana bung Karno percaya bahwa pemuda akan dapat membawa Indonesia jauh melesat kedepan, walau itu ditargetkan 22 tahun dari sekarang, maka momentum transisi kekuasaan saat ini akan menjadi pengaruh penting demi terwujudnya 100 tahun Indonesia emas. Juga jangan pernah remehkan pergantian kekuasaan apapun di dalam lingkup masisir baik itu PPMI, kekeluargaan, dan lain sebagainya. Karena peristiwa hari ini akan menjadi sejarah untuk masa depan, maka jangan hanya jadi bagian dari sejarah, tapi jadilah pencipta sejarah.

Penulis: Noor Latif Mubarak

Editor: Fathiah Salsabila