ksmrmesir.org – Teras Falsafatuna kembali menggelar diskusi bulanan pada Sabtu (25/10) dengan mengulas karya fenomenal Madilog karangan Tan Malaka. Acara yang berlangsung di Kafe Gegek.id, Hay Asyir, ini menghadirkan Idzharul Hasan sebagai pemateri dan Rakish Al Hazen sebagai moderator.
Diskusi ini berangkat dari keresahan Izharul atas fenomena meningkatnya popularitas Madilog di kalangan anak muda Indonesia. Banyak dari mereka menilai buku tersebut sebagai simbol rasionalitas dan kecerdasan berpikir.
Dalam pemaparannya, Idzharul Hasan menjelaskan bahwa Madilog, menurut pengakuan Tan Malaka, membahas tentang cara berpikir berbasis sains positivistik. “Ketika kita hendak mengamati suatu fenomena alam, kita mulai dari observasi, lalu menganalisis data, menyusunnya menjadi teori, dan akhirnya memverifikasinya. Inilah tiga langkah metode ilmiah yang dikenal dalam sains modern,” jelasnya. Tan Malaka sendiri, lanjutnya, memadukan tiga konsep utama dalam bukunya: Materialisme, Dialektika, dan Logika.
Kritik Pertama: Bangunan Metode dan Argumen Filosofis
Idzharul menilai bahwa Madilog memiliki kelemahan mendasar dalam aspek argumentasi filosofis.
“Madilog bukan buku sains, bukan buku logika, dan bukan buku matematika. Tetapi ia adalah buku filsafat sains, filsafat matematika, dan filsafat logika yang dibangun berdasarkan keyakinan Tan Malaka sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, bagi pembaca yang ingin memahami ilmu-ilmu tersebut secara ilmiah, tersedia banyak referensi yang lebih komprehensif. “Tan Malaka berusaha menuliskan sistem berpikir filsafat versinya sendiri, mencampurkan sains modern, logika Aristotelian, dan dialektika materialisme. Namun sayangnya, sangat sedikit bukti filosofis yang ia tampilkan,” tambahnya.
Sebagai contoh, Tan Malaka berpendapat bahwa materi tidak memiliki permulaan. Padahal, pandangan tersebut telah dibantah panjang lebar dalam literatur ilmu kalam. Karena itu, Idzharul menilai bahwa Madilog masih lemah dalam menyajikan bukti dan argumentasi filosofis yang solid.
Kritik Kedua: Metode Ilmiah dalam Menjelaskan Sejarah
Pada bagian selanjutnya, pemateri mengkritik penggunaan metode ilmiah Tan Malaka dalam menjelaskan peristiwa sejarah masa lalu. Ia mengajukan pertanyaan reflektif:
“Bagaimana cara mengetahui peristiwa yang terjadi seratus tahun lalu? Apakah cukup dengan akal dan indera?”
Menurutnya, akal dan indera saja tidak cukup untuk menjangkau kejadian masa lampau. Dalam tradisi keilmuan Islam, terdapat metode yang lebih kokoh, yakni khabar shadiq atau berita yang diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya secara bersambung hingga sampai kepada kita.
“Kita tahu Soekarno membacakan teks proklamasi karena ada banyak saksi yang melihat langsung peristiwa itu, lalu menceritakan kepada generasi setelahnya sehingga berita tersebut sampai kepada kita dengan cara yang valid,” jelasnya.
Namun, menurut beliau, Tan Malaka tidak menggunakan pendekatan khabar shadiq dalam menjelaskan realitas. Sebaliknya, Tan Malaka memakai dua metode lain: teori evolusi untuk menjelaskan sejarah alam, dan dialektika materialisme untuk menjelaskan sejarah masyarakat.
Untuk memperjelas argumennya, pemateri memberikan analogi sederhana.
“Bayangkan ada dua kasus pembunuhan: korban A dan korban B,” ujarnya. “Kasus A tidak memiliki saksi mata sama sekali, sementara kasus B memiliki banyak saksi. Dalam kasus A, penyidik akan menggunakan jasa detektif untuk mencari bukti fisik seperti bekas tusukan dan jejak darah, lalu menyusunnya menjadi kesimpulan. Sedangkan dalam kasus B, penyidik cukup mengandalkan keterangan saksi mata.”
Ia melanjutkan, “Ketika hasil penyelidikan menunjukkan bahwa pelaku pembunuhan A dan B adalah orang yang sama, yaitu C, padahal waktu dan tempatnya tidak memungkinkan, maka hakim yang cerdas akan memilih bukti yang paling kuat. Bukti yang didukung banyak saksi tentu lebih meyakinkan dibandingkan bukti materi yang bersifat dugaan. Dalam hal ini, dalil yang berdasarkan kesaksian mutawatir lebih kuat daripada analisis terhadap benda-benda mati.”
Dari analogi tersebut, pemateri menyimpulkan bahwa dalil dari penelitian terhadap bukti materi lebih lemah dibandingkan dalil yang bersumber dari khabar shadiq.
Menutup diskusi, Idzharul Hasan menegaskan, “Saya membebaskan siapa pun membaca buku apa saja bahkan buku yang ditulis oleh ateis sekalipun. Namun membaca buku tidak cukup hanya sampai memahami isi. Dalam tradisi intelektual Islam, pembaca dituntut untuk melakukan ‘iadatun nazhar—mengulang pandangan dan mengkritisi apa yang dibaca.
Seorang Muslim harus membaca dengan sikap kritis, bukan sekadar ikut-ikutan. Mengapa orang-orang zaman dahulu bisa terjerumus dalam penyembahan berhala? Karena mereka mengikuti apa yang diwariskan nenek moyangnya tanpa melakukan kritik dan perenungan.
Saya ingin teman-teman membaca buku secara kritis, bahkan ketika membaca karya para ulama Islam sekalipun. Itulah yang diajarkan Ahlussunnah. Imam Fakhruddin ar-Razi mengkritik Imam al-Asy‘ari, ulama setelahnya mengkritik Imam al-Ghazali, dan itu hal yang wajar. Dalam kitab-kitab ilmu kalam, kritik bisa sangat keras; jika seseorang mudah tersinggung (baper), maka ia belum layak disebut intelektual.”
Reporter: Muhammad Yahya Abdurrahman
Editor: Raihana Salsabila


