Merajut Ketenangan di Bumi Kairo

Penulis: Ramadhani Nur Habibah
Editor: Khadijah Buma

Malam itu, Kairo terasa sunyi. Angin musim dingin menerobos masuk lewat jendela kamar asrama, membuat Salwa menarik selimutnya lebih erat. Di ranjang kecil itu, pikirannya terus melayang, menelusuri kekhawatiran yang mengganjal hatinya.

Salwa, seorang mahasiswi asal Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, tak pernah membayangkan bahwa jalan yang ia pilih akan membawa begitu banyak ujian. Sudah setahun ia di sini, namun rindu yang menderanya tak pernah hilang. Selain itu, tuntutan akademik yang ketat sering membuatnya merasa cemas. Setiap kali Salwa merasa mulai mengerti akan ilmu baru, tantangan baru pun ikut datang, dan itu membuatnya meragukan diri.

Sambil menatap langit-langit, Salwa merenung, bertanya-tanya apakah perjuangannya di sini benar-benar sepadan dengan pengorbanan yang ia lakukan. Saat itu, hatinya mulai dipenuhi rasa galau dan keraguan. “Apakah aku mampu? Apakah aku layak di sini?” Gumamnya dalam hati.

Salwa pun mengambil ponsel dan membuka pesan dari ibunya. Pesan itu sederhana, namun penuh dengan kasih sayang. Ibunya menuliskan doa-doa dan nasihat untuk selalu bertawakal pada Allah. “Ingat, Nak, ilmu itu cahaya yang akan menuntunmu di dunia dan akhirat. Kesulitan ini adalah ujian yang membuatmu lebih kuat.”

Setelah membaca pesan itu, mata Salwa berkaca-kaca. Hatinya tergetar. Ia menyadari betapa besar harapan yang dibebankan padanya, namun bukan untuk membuatnya terbebani, melainkan sebagai bukti cinta dan doa tulus yang mengiringinya dari jauh.

Di tengah malam itu, Salwa memutuskan untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat tahajud. Dalam sujudnya yang panjang, ia mencurahkan segala resahnya kepada Allah. Air mata tak terbendung, membasahi sajadah. Salwa memohon ketenangan, berharap agar hatinya kembali kuat untuk menjalani hari-harinya.

Usai shalat, Salwa merasa hatinya lebih ringan. Ia mengambil Al-Qur’an dan membuka surat Ar-Rahman. Ayat demi ayat ia baca dengan perlahan, dan di ayat yang berulang-ulang, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”, Salwa merasa teguran lembut menyentuh hatinya. Allah telah memberinya kesempatan berharga untuk belajar, tinggal di negeri yang penuh sejarah Islam, dan mendalami ilmu yang diimpikannya sejak lama. Rasa syukur mulai memenuhi hatinya, menggantikan kegundahan yang tadi menguasainya.

Esok harinya, Salwa berusaha menjalani harinya dengan lebih tenang. Ia kembali fokus mengikuti kuliah tafsir dan fiqih, berusaha menyerap ilmu dengan sungguh-sungguh. Meski tidak selalu mudah, ia tahu bahwa setiap usaha yang ia lakukan, sekecil apa pun, memiliki nilai di sisi Allah.

Di sela-sela kuliah, Salwa bertemu dengan sahabatnya, Leila, seorang mahasiswi asal Mesir yang selalu memberikan dukungan dan inspirasi. Kepada Leila, Salwa bercerita tentang kegalauannya semalam.

“Aku mengerti, Salwa,” kata Leila sambil tersenyum lembut. “Aku juga sering merasa demikian. Tapi ingatlah, bahwa di sini kita bukan hanya menuntut ilmu, tapi juga menguatkan iman. Kita harus percaya, apa yang kita lakukan ini ada dalam rencana Allah.”

Perkataan Leila membuat Salwa tersadar bahwa ia tidak sendiri. Semua mahasiswa di Al Azhar mungkin mengalami perjuangan yang sama, merasa lelah dan rindu. Namun, di sanalah letak kekuatan mereka sebagai saudara seiman yang saling mendukung dan menguatkan.

Sejak hari itu, Salwa mulai mengubah caranya dalam menghadapi kesulitan. Setiap kali merasa putus asa, ia mengingatkan dirinya akan tujuan awalnya datang ke Al Azhar: untuk mencari ilmu yang bisa memberi manfaat bagi orang banyak. Ia mulai memperbanyak dzikir dan menambah waktu membaca Al-Qur’an setiap pagi sebelum memulai aktivitas. Rutinitas kecil ini, ternyata, membawa ketenangan yang luar biasa di hatinya.

Perlahan tapi pasti, Salwa merasa hidupnya di Kairo mulai lebih berarti. Ia tak lagi melihat tantangan sebagai beban, melainkan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Setiap tugas kuliah yang sulit, ia terima sebagai kesempatan untuk memperdalam ilmu, dan setiap kerinduan pada keluarganya ia jadikan sebagai bahan doa agar mereka selalu dalam perlindungan-Nya.

Ketika malam tiba, Salwa kembali ke asramanya dengan perasaan lega. Ia menatap langit Kairo yang tenang, sambil berdoa agar Allah senantiasa menuntunnya. Dalam hati, ia berjanji untuk terus membawa cahaya ilmu dan iman ke mana pun ia melangkah, menjadikannya bekal untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *