Hal Remeh Berjuta Makna

Oleh: Ferdi Pratama

Ratusan layang-layang yang rapi di langit London hari itu menari-nari seperti barisan burung yang sedang bermigrasi. Angin pantai yang berembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh di atas senja yang indah dipandang mata. Di pinggir pantai, tampak seorang pemuda yang sedang menepi dari ketiga temannya yang menatap matahari  perlahan mulai terbenam, ditemani secangkir kopi  dan angin laut  yang berhembus kesana kemari .

Di saat langit di penuhi warna jingga, terlintas di pikiran pemuda desa tentang keberhasilannya yang lulus kuliah ke luar negeri. Pemuda itu bernama Ramadhan, lelaki yang kini tengah merenung memandangi ombak yang datang menghampiri kemudian berkata, mau jadi apa aku nantinya kalau begini terus, monolognya dalam hati.

Tak lama kemudian, datanglah Mahmud menghampiri Ramadhan yang tampak lesu. “Apa yang sedang terjadi sahabatku?” Bukannya menjawab, Ramadhan hanya diam sambil menyeduh kopi yang ada di tangannya untuk menenangkan diri.

Tak lama setelah itu, Karim juga ikut menghampiri lalu berkata, “Lo ngapain gini, bro? Lo nggak mau menikmati alam yang indah ini bareng kami?” Tanya Karim penasaran. Namun, Ramadhan masih saja tetap saja diam.

Hingga akhirnya Ahmad ikut nimbrung di antara mereka bertiga dan menyodorkan uang yang ia ambil dari sakunya kemudian ia sodorkan kepada Ramadhan. “Pakailah uang ini, mungkin kamu sedang membutuhkannya.” 

Melihat kelakuan Ahmad seperti itu, Ramadhan pun angkat bicara. “Terima kasih saya ucapkan kepada kalian semua yang telah berusaha mengembalikan mood saya yang saat ini tidak baik.” Detik berikutnya ia berkata, “Sebenarnya bukan uang yang saya butuhkan, dan bukan pula saya tidak senang duduk bersama kalian. Akan tetapi, saya merasa minder duduk dengan kalian yang suda mempunyai tujuan, serta selalu punya planning setiap harinya. Sementara saya tidak ada perkembangan sama sekali. Rasanya saya dengan kalian seperti siang dan malam,” ucap Ramadhan dengan tatapan sendu.

“Setiap pagi aku selalu melihat Ahmad bangun lebih awal dan mulai  merintis sedikit demi sedikit bisnisnya. Sedangkan Karim setiap hari berkumpul bersama teman temannya untuk membangun relasi yang baik, seperti menyusun program kerja untuk kebaikan bersama. Mahmud setiap pekan selalu menamatkan satu buku kemudian menulis untuk membangun jiwa literasinya. Sementara saya hanya terbaring di atas kasur yang empuk, dan terus begitu.” Suasana pun seketika menjadi haru dan sunyi.

Tak lama setelah itu azan Magrib pun berkumandang, mereka berempat langsung bergegas ke kontrakan untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat Islam. Setelah melaksanakan salat, Ramadhan dengan wajah masamnya duduk di dekat jendela rumah yang menghadap langsung ke Big Ben. Pandangannya terus menatap pergerakan jarum Big Ben setiap detiknya dengan merenungi potongan dalil yang terpampang jelas di dinding.

Tiba-tiba Ramadhan dikagetkan dengan kedatangan Karim yang datang entah dari mana sambil berkata, “Jangan meremehkan hal sekecil apa pun, untuk langkah seratus di perlukan langkah awal. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali dia sendiri yang mengubahnya.” Dalil inilah yang sedang Ramadhan renungi hampir setiap masuk kamar, karena dalil itu berada di antara kamarnya dan kamar Karim.

Setelah berpikir lama, barulah bintang-bintang itu bercahaya dalam pikirannya. Ya, Ramadhan telah menemukan apa yang seharusnya ia lakukan, yaitu memperbaiki hari-harinya dengan memperhatikan setiap detik yang berganti sebagai mana orang-orang London menggunakan setiap detik Big Ben dengan sebaik mungkin, yang dimulai dari hal-hal terkecil.

Sejak hari itulah, Ramdhan sang anak rantau yang hampir putus asa di dunia perantauan memulai semangat baru dengan merapikan hari-harinya yang selama ini ia anggap sepele.

Ketika jam menunjukkan pukul 11.00 malam, Ramdhan telah membuat skedul untuk hari esok, dan menargetkan waktu tidurnya pukul 11.30 setiap malamnya. Agar bisa bangun lebih awal dan bisa salat Subuh tepat waktu.

Setelah bangun sebelum subuh, Ramadhan segera merapikan tempat tidurnya dan melaksanakan Salat. Tak lupa ia berdoa supaya Allah tunaikan niat mulianya yang telah ia rencanakan itu. Selanjutnya Ramadhan mulai melakukan olahraga ringan seperti push up 5 kali setiap paginya, dilanjutkan dengan menikmati secangkir kopi, membaca buku, menulis, serta mengenal  orang-orang baru di hari itu untuk menjalin silaturahmi sesama umat beragama.

Awalnya Ramadhan sangat kewalahan menjalani banyaknya program yang telah ia atur di malam harinya. Meskipun tidak berjalan dengan maksimal. Akan tetapi Ramadhan tidak pernah menyerah dan selalu tekun menjalankan aktivitasnya.

Sebelum tidur, Ramadhan pasti menilai berapa persen nilai yang layak baginya hari ini berdasarkan  program-program yang telah ia susun dari hal kecil. Inilah Ramadhan, pemuda yang memulai hidupnya dengan semangat baru.

Seiring dengan waktu yang terus berjalan, Ramadhan  pun tumbuh menjadi pribadi yang hebat  dengan teman-temannya yang selalu men-support dirinya, dan  membantunya sebisa mungkin.

Sepuluh tahun kemudian, barulah mereka merasakan buah dari semua perjuangan yang mereka rintis dari hal-hal kecil selama ini. Ahmad yang sekarang perusahaan dan bisnisnya telah membuka cabang ke-10 dengan penghasilan yang besar setiap bulannya, sementara Karim sekarang duduk di bangku legislatif sebagai DPR provinsi, serta nama Mahmud yang hari ini mustahil tidak kita temukan karangannya di perpustakaan-perpustakaan seluruh Indonesia, dan Ramadhan yang telah menjadi motivator yang jam terbangnya bukan hanya kampus-kampus Indonesia lagi tapi telah sampai ke luar negeri. Ramadhan juga sukses menulis satu buku yang tebalnya 300 halaman dengan judul “Hal Remeh Berjuta Makna” yang di dalamnya menceritakan perjuangan dirinya dalam menghargai hal-hal kecil sehingga sampai pada titik sekarang ini.

Editor: Fathiah Salsabila

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *